Selasa, 30 November 2010

Api Dan Kita

Api Dan Kita

Oleh: Ahmad Barjie B

Kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Ungkapan ini tepat untuk menyebut api. Ketika kecil dan terkendali, seperti korek api, api dapur, kompor, listrik, api unggun, kembang api, kita sangat memerlukan api. Tetapi ketika besar dan liar, api jadi musuh paling berbahaya. Ketika terjadi kebakaran (Banjar: kasalukutan, kamandahan), sangat mungkin harta benda dalam jumlah besar dilalap dalam sekejap. Bahkan korban jiwa pun tidak jarang terjadi. Orang bilang, kalau kecurian masih ada yang terisa, tapi kalau kebakaran, telor cecak pun ikut hangus.
Selain berjuluk kota air, sebenarnya Banjarmasin juga bergelar kota api. Hal ini disebabkan seringnya terjadi kebakaran di kota ini. Tetapi kebakaran tidak hanya monopoli Banjarmasin, sejumlah daerah di Kalsel juga rawan kebakaran. Seolah arisan, sejumlah kota akhir-akhir ini bergantian mengalami musibah kebakaran. Dari Banjarmasin, Kotabaru, Martapura, Kandangan, Kelua, dll. Kuala Kapuas dan Palangka Raya Kalteng juga sering jadi langganan kebakaran besar. Data Dinkesos Kalsel menyebutkan, selama tahun 2005 terjadi 94 kali kebakaran, dengan korban kehilangan tempat tinggal 1.771 jiwa dan total kerugian Rp 24,4 miliar lebih. Tahun 2006, hingga medio Agustus sudah terjadi 40 kali kebakaran, dengan korban 10.581 orang kehilangan tempat tinggal dan kerugian materi Rp 18,9 miliar lebih. Ini belum termasuk kebakaran besar di Belitung beberapa waktu lalu, serta kebakaran hutan dan lahan, yang angka kerugiannya tentu tidak sedikit.
Ketika kebakaran terjadi, penderitaanlah yang muncul. Bagi keluarga mampu, tidak sulit membangun rumah kembali. Tetapi bagi keluarga ekonomi lemah, kebakaran benar-benar sangat memukul. Prospek kehidupan mereka menjadi hampa dan tidak jelas lagi. Jika mampu bangkit, diperlukan bertahun-tahun lagi untuk bisa pulih. Memang ada kalanya datang bantuan dari kalangan outsider, tetapi santunan itu hanya sekadar empati, bagi korban, jauh dari imbang dibanding kerugian materi yang diderita. Belum lagi recovery korban kebakaran, sering pula mengalami masalah, bahkan tidak jarang ada yang mencari kesempatan di tengah kesempitan. Karena itu walau selalu ada kepedulian pemerintah dan masyarakat, mencegah kebakaran selalu lebih baik daripada mengatasi.
Beberapa sebab
Ketika kebakaran terjadi pada orang lain, banyak anggota masyarakat tidak waspada terhadap bahaya kebakaran. Peristiwa kebakaran cenderung dibuat hiburan. Begitu ada asap tebal mengepul dan mobil pemadam meraung-raung, orang-orang juga berhamburan menuju lokasi, bukan untuk menolong, tetapi hanya menonton. Konon ada juga yang ikut mengamankan barang, tetapi sekalian dicuri. Hal ini dapat menambah panik dan menyulitkan mobil pemadam. Mereka baru merintih kalau kebakaran itu terjadi pada diri atau keluarganya sendiri.
Banyak sekali pemicu terjadinya kebakaran. Pemicu awalnya bisa karena korsleting listrik, kabel-kabel lapuk, kompor meledak, dapur yang ditinggal pergi, lilin, obat nyamuk, setrika listrik dan banyak lagi. Semua ini sangat mungkin karena kelalaian atau ketidakhatian. Seringnya pemadaman listrik juga ikut memberi kontribusi kebakaran, sebab ketika orang tidur, alat penerangnya bisa tidak terkontrol, dan ketika listrik menyala kembali tidak diketahui. Pemicu kedua bangunan dari kayu, atap sirap, kumuh, berdempet, rapat, sehingga api cepat membesar. Keterbatasan alat pemadam, dan jalan akses menuju lokasi yang sempit, juga menyulitkan kecepatan pertolongan.
Kondisi masyarakat yang pluralistik di segi etnis, tradisi, budaya dan kemampuan ekonomi, juga rentan menyebabkan kebakaran. Di segi pemilikan rumah, ada yang milik sendiri, menggadai dan mengontrak atau menyewa. Tingkat kesadaran terhadap bahaya kebakaran mungkin berbeda-beda, karena risikonya juga tidak sama. Ada yang begitu gampang menyikapi api, tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagi yang tidak berisiko besar, kebakaran mungkin dianggap biasa. Begitu kebakaran terjadi, tinggal angkat koper, emangnya gue pikirin.
Beratnya kehidupan sosial ekonomi, tidak mustahil juga memunculkan anggota masyarakat stress. Percekcokan suami istri atau anak bisa saja mengundang kebakaran. “Mun aku muyak, kusalukut haja rumah ngini, biar ranai, kadada lagi harta nang dirabutakan” (kalau saya bosan, kubakar saja rumah ini biar beres, tidak ada lagi harta yang diperebutkan). Ungkapan seperti ini tidak mustahil muncul dalam keluarga stress. Preman kampung yang sedang kesal mungkin juga berulah demikian. “Mun aku sarik, kusalukut haja kampung ini, hapus” (kalau saya marah saya bakar saja kampung ini, biar jera). Kebakaran sengaja atau semi sengaja seperti ini juga penting diwaspadai dan diantisipasi sejak dini.
Pendekatan solusi
Mencegah terjadinya kebakaran selalu lebih baik. Pertama, hendaknya diaktifkan penyuluhan dan peringatan dini di tengah masyarakat. Aparat pemerintah dan tokoh masyarakat tidak henti-hentinya memperingatkan. Pengeras suara di langgar, mushalla, masjid, gereja, sekolah, dsb hendaknya sering digunakan untuk memperingatkan bahaya api bagi masyarakat sekitar. Ini besar manfaatnya untuk membangun kesadaran masyarakat, sehingga mereka selalu waspada. Ada atau tidak “hantu api”, masyarakat harus punya kewaspadaan tinggi.
Kedua, harus ada usaha memeriksa instalasi dan kabel-kabel listrik supaya diketahui kelayakannya. Kalau bisa PLN secara teratur memeriksa, misalnya enam bulan sekali. Pemadaman listrik di malam hari hendaknya ditekan seminim mungkin. Sejalan itu perlu dipetakan kawasan-kawasan rentan kebakaran, lalu disiapkan alat dan tenaga antisipasi dengan kesiagaan tinggi. Anggaran pemerintah juga disiapkan memadai, sebab jasa mereka sebenarnya sangat besar.
Ketiga, setiap lingkungan RT hendaknya memiliki alat pemadam kebakaran ringan (apar), dan kalau bisa juga bisa memiliki mobil pemadam (BPK). Setiap keluarga punya karong goni yang siap dibasahkan sebagai cara manual pertama menjinakkan api. Menanam pohon pisang di sekitar rumah juga bagus. Bagi keluarga mampu alangkah baiknya membeli dan memiliki apar masing-masing, sehingga mudah dan cepat digunakan atau dipinjam ketika dibutuhkan. Ini penting sebagai usaha pertolongan pertama pada kebakaran (P3K) sebelum datangnya pasukan pemadam.
Di setiap daerah Kecamatan dan Kabupaten, terutama di Hulu Sungai dan daerah terpencil hendaknya punya sejumlah barisan pemadam yang handal. Pemerintah Daerah hendaknya menganggarkan dananya, di samping kontribusi masyarakat swasta. Selama ini pengadaan mobil pemadam seolah hanya keperluan sekunder atau tersier, sehingga pengadaannya diabaikan. Orang baru sadar pentingnya mobil pemadam setelah kebakaran terjadi, padahal pasukan pemadam sama pentingnya dengan polisi, rumah sakit, puskesmas dan dokter. Kita sungguh berterima kasih kepada pasukan pemadam kebakaran selama ini, karena mereka tanpa pamrih selalu sigap dan proaktif memadamkan kobaran api di setiap ada musibah.
Keempat, tata letak rumah/bangunan hendaknya diatur sedemikian rupa supaya menjalarnya api tidak terlalu cepat. Selama ini penduduk suka sekali menghabiskan sisa tanahnya membangun rumah, sampai berdempet tanpa celah. Selain merusak pemandangan, menyulitkan membuang sampah, cara ini menyulitkan mengatasi api saat kebakaran. Jalan dan gang hendaknya diperlebar, supaya akses masuk mobil pemadam cepat dan mudah. Kesulitan masuk, dalam hitungan menit saja, risiko kebakaran sudah sangat besar. Adanya jalan besar sangat membantu percepatan mobilitas BPK. Seperti adanya jalan baru tembus Gatot Subroto Lingkar Dalam Selatan, walau baru dibangun sudah fungsional. Saat kebakaran di Pemurus Baru BPK Hippindo dll yang besar dapat masuk cepat. Ini tentu sangat membantu.
Kelima, Perda Kebakaran, sebagaimana usul Sekjen Depsos RI, perlu segera dibuat di masing-masing daerah. Sehingga dapat diantisipasi bahaya kebakaran, dan anggota masyarakat yang lalai atau melakukan pelanggaran dikenakan sanksi, baik penjara atau denda. Kebakaran tidak sekadar musibah, tetapi harus ada upaya antisipasi, prevensi dan kurasi yang tegas. Aturan hukum penting disosialisasikan segera agar tidak ada yang bermain-main atau menganggap remeh bahaya api.
Akhirnya semoga korban kebakaran selama ini tetap sabar tabah dan tawakkal untuk bangkit kembali. Semoga pemerintah, kalangan swasta, dermawan dan masyarakat meningkatkan bantuannya sehingga korban dapat memilihkan kerugiannya. Kalau bisa bantuan tidak saja pengadaan bangunan tempat tinggal, juga modal usaha tanpa bunga. Sungguh beruntung pihak yang mau membantu korban kesusahan. Allah menolong hambanya di dunia dan akhirat siapa saja yang ringan tangan memberi pertolongan antarsesama. Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2010

Antara Soeharto dan Pak Harto


Antara Soeharto dan Pak Harto
Oleh: Ahmad Barjie B

    Soeharto dan Pak Harto orangnya hanya satu, sama, tidak beda. Tetapi penyebutannya di masyarakat berbeda-beda. Saat ini minimal ada tiga cara orang menyebut namanya; Soeharto, mantan presiden Soeharto dan Pak Harto. Ketiga cara tersebut mencerminkan perbedaan sikap dan pandangan orang tentang beliau, baik sesudah lengser maupun saat-saat sakit. Mereka yang menyebut Pak Harto atau mantan presiden Soeharto, masih menaruh hormat, kagum, salut dan tidak ingin melupakan jasa dan kebesaran beliau hanya lantaran beberapa kesalahannya. Sikap ini, dalam ungkapan Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero (melihat kebaikan dan menyimpan kekurangannya).
     Dalam Islam, penghormatan demikian makin dituntut menjelang dan setelah seseorang meninggal. Nabi mengatakan: uzkuruu mahasina mautaakum, wa kaffu an masaawihim (sebut-sebut kebaikan orang yang mati di antara kamu, dan jangan kau sebut keburukannya). Mereka yang masih menaruh hormat pada Pak Harto memegang tradisi leluhur dan menjunjung nila-nilai adiluhung, bahwa orang yang berjasa, sudah tua, sepuh dan sakit-sakitan, tidak pantas dihujat. Memanggil nama seolah  teman sekolah, di luar kepatutan. Orang awam yang dituakan saja  biasanya dipanggil dengan om, tante, paman, bude, pakde, pak le, dst.
     Bagi urang Banjar ada sebutan pakacil, makacil, julak, tangah, acil, suanang dan sualuh, patuha, kai dan nini. Bahkan bagi urang Banjar, sebutan untuk orang terhormat dan ulama lebih spesifik lagi. Misalnya Guru KHM  Zaini Abdul Ghani almarhum, sebutan beliau sangat bervariasi, mulai dari Guru Ijai, Guru Sekumpul, Guru Zaini Ghani, sampai al-Syaikh Shahibul Fadhil al-Alim al-Allamah al-Arief Billah Muhammad Zaini Abdul Ghani. Semua sebutan itu  sah-saja, sebab mencerminkan apresiasi orang terhadap seorang tokoh.
     Bagi yang menyebut Soeharto dengan konotasi negatif, agaknya tidak peduli dengan jabatan, jasa, ketuaan dan kesepuhan beliau. Sikap Pak Harto yang lebih banyak pasrah dan tidak pernah menuntut balik orang yang menghujatnya, serta permintaan maaf dari Pak Harto saat lengser atau maaf dari putrinya Siti Hedijati baru-baru ini, tidak kunjung  membuat tekanan mereka berkurang. Walau ada jarak usia setengah abad, dan ada banyak jasa terpampang di mata, kalangan aktivis penekan tidak mau mengistimewakan Soeharto. Siapa pun orangnya tidak peduli pejabat atau mantan pejabat tinggi, bagi mereka tidak berbeda di mata hukum. Kalau melanggar hukum harus diselesaikan secara hukum.
    Kedua kubu, simpatisan dan penekan inilah yang agaknya terus bertarung di tengah labilnya kesehatan Pak Harto. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kelihatannya sangat ragu dan tidak berani mengambil sikap tegas. Seperti ada ketakutan berlebihan kalau bersikap hitam putih. Akibatnya, pemerintah lebih memilih langkah abu-abu, suatu sikap yang sesungguhnya tidak cerdas dan jentle, sebab tidak solutif.  Running tex Metro TV menyatakan, SBY akan bersikap mikul dhuwur mendhem jero terhadap Pak Harto, bahkan juga terhadap Soekarno, Habibie, Gus Dur dan Megawati. Sikap ini cukup bagus, mencerminkan kebesaran jiwa SBY, tetapi tidak menyelesaikan masalah, karena tidak resmi dan lebih bersifat pribadi. Dulu, Pak Harto juga mikul dhuwur terhadap Bung Karno, tetapi tetap saja ada stigma yang melekat pada Bung Karno. Kalau begini terus, sampai Pak Harto wafat pun saya kira masalah  ini akan tetap mengambang tanpa ending yang melegakan.
Pergeseran sebutan
     Setiap tokoh dalam level dan komunitas apa pun, selalu ada pergeseran cara orang menyebutnya.  Di masa perjuangan kemerdekaan, sebutan akrab yang digunakan adalah Bung, ada sebutan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan Bung Syahrir. Adanya judul lagu “Bung Di Mana” serta “Mari Bung rebut kembali” dalam lirik lagu “Bandung Lautan Api” menunjukkan betapa populernya sebutan Bung saat itu,  sebutan yang kini sudah pudar. Saat Bung Karno berkuasa, di depan nama beliau ada berbagai gelaran seperti Paduka Yang Mulia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, bahkan menjelang jatuh juga dijuluki Presiden Seumur Hidup. Ketika Pak Harto berkuasa, beliau dijuluki The Smiling General, Bapak Pembangunan, Orang Kuat Asia, dan menjelang lengser, bersama AH Nasution dianugerahi gelar kehormatan Jenderal Besar.
     Ketika para tokoh jatuh, gelar-gelar kehormatan ikut berjatuhan. Bung Karno seperti masih belum dipulihkan namanya, padahal jasanya terhadap negeri ini teramat besar. Selain pejuang kemerdekaan, proklamator dan penggagas Pancasila, Bung Karno juga pendiri Gerakan Non Blok dan salah seorang tokoh dunia yang berani melawan neokolonialisme-imperialisme (nekolim) Barat. Tap MPRS yang mengindikasikan beliau terlibat dalam G 30 S PKI 1965 dan pelarangan ajarannya tidak juga dicabut. Saya pernah lihat foto Bung Karno dalam sebuah buku dihapus dengan tinta dan dicoret, pertanda kuatnya stigma negatif terhadap beliau saat itu.
     Nasib relatif sama menimpa Pak Harto, berbagai krisis bangsa ditimpakan sebagai kesalahan selama 32 tahun pemerintahannya. Hari-hari awal reformasi Pak Harto mengalami hujan hujatan. Sebuah Tap MPR berisi kewajiban pemerintah orde reformasi membongkar KKN orde baru dihadiahkan khusus untuk beliau. Perannya sebagai pemelihara Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa, bapak pembangunan, penopang swasebada pangan dan motor stabilitas nasional yang disegani dunia internasional, tidak lagi diingat orang. 
Hukum dan Politik
     Persoalan yang menyelimuti Pak Harto agaknya tidak kunjung hilang, meski sudah sewindu pasca lengsernya. Nama Soeharto sering disebut dengan konotasi negatif, misalnya adili Soeharto, seret Soeharto ke pengadilan, jangan ampuni Soeharto, dan berbagai kalimat vulgar lain. Kalau kita ikuti polling media massa, katakanlah sharing pendapat lewat SMS, sebagian besar masyarakat sudah memaafkan dan minta kasus ini ditutup, karena tidak ada manfaatnya dan hanya jadi komoditas politis. Tetapi mengapa sebagian kecil elit, terutama para aktivis, seperti tidak surut untuk terus menuntut Pak Harto?.
       Masalah yang melilit Pak Harto sangat kompleks, antara ranah politik dan hukum, yang keduanya sama-sama krusial. Kalangan yang memaafkan dan ingin menutup kasus Pak Harto menganggap ini masalah politik, tidak mungkin diselesaikan secara hukum. Pihak lain menganggap, ini masalah hukum, tidak bisa diselesaikan secara politik. Mempertemukan kedua kubu berlawanan ini sangat sulit. Namun ada sedikit titik temu, sebagian dari yang menghendaki solusi hukum tidak keberatan Pak Harto diampuni setelah jelas status hukumnya.
     Cuma masalahnya, bagaimana memproses hukum orang yang sudah sakit parah di usia yang sudah sangat sepuh. Tidak ada sejarahnya, di usia 85 tahun ke atas orang jadi sehat, apalagi Pak Harto mengalami komplikasi penyakit permenen di otak, percernaan, lambung, ginjal, darah dan segala macam penyakit tua seperti keterangan tim dokter. Jadi menunggu proses hukum hanya sebuah kesia-siaan dan mission impossible. Jangankan kasus besar, kasus kecil pun terasa begitu alot bila penyelesaiannya secara hukum.
       Menurut saya, masalah yang menimpa Pak Harto lebih bersifat politis. Pasalnya, selama tujuh kali masa jabatan presiden, beliau sudah mempertanggungjawabkan jalannya pemerintahan. Termasuk aktivitas pengelolaan sejumlah yayasan sosial dan keagamaan seperti Supersemar dan YABMP, hasilnya juga dirasakan Pertanggungjawaban itu selalu diterima secara bulat oleh DPR-MPR, kemudian mandat diperpanjang lagi, begitu seterusnya. Penerimaan itu bukan rekayasa, tidak ditekan dan dipaksa, tetapi disetujui dengan mulus dengan akal sehat dan waras oleh anggota DPR/MPR saat itu.
     Bila orde baru disalahkan, maka kesalahan itu bersifat kolektif, bukan  perorangan. Menyelesaikan masalah politik apalagi hukum, dengan hanya membidik satu orang atau satu kroni, tentu tidak adil dan tidak akan pernah tuntas. Karena itu penyelesaian masalah sebaiknya memang secara politik pula. Pemerintah harus berani bersikap, supaya masalah yang satu ini tidak terus menerus membebani sejarah ke depan.
      Seiring penyelesaian politik, pemerintah boleh melakukan langkah hukum dengan titik berat pada sisi perdata, bukan pidana. Dulu seusai lengser Pak Harto pernah mempersilakan kepada pemerintah penggantinya untuk mengambil harta kekayaannya di luar negeri kalau ada, untuk jadi milik negara. Ternyata hingga hari ini hal itu tidak dilakukan. Publik jadi ragu, apa memang harta karun itu ada. Kalau memang yayasan-yayasan yang dikelola kroni Pak Harto terindikasi KKN mengapa tidak diambil alih asetnya secara baik-baik, tanpa harus menunggu proses hukum. Dan kalau masih fungsional sesuai AD/ART apa untungnya yayasan itu diambil alih. Bukankah manfaatnya untuk kepentingan sosial juga.

Rekonsiliasi total
      Para penentang Pak Harto mungkin ada berasal dari sisa orde lama, nasionalis, kalangan yang merasa dirugikan semasa orba, baik secara politik (matinya demokrasi), secara  ekonomi (mengalami kematian perdata seperti pentolan Petisi 50), secara moral bahkan jiwa (mungkin ada keluarganya yang terbunuh, hilang, diculik) dsb. Selama orba memang tercatat beberapa traedi pertumpahan darah yang bersifat politis seperti Tanjung Priok, Lampung, Semanggi, Trisakti, 21 Mei 1998, ditambah kebijakan DOM di Aceh. Luka anak bangsa yang menjadi korban mungkin belum sembuh.
      Alangkah baiknya sekiranya pemerintah sekarang melakukan rekonsiliasi total. Pertama, posisi Bung Karno harus dipulihkan supaya tidak ada lagi stigma negatif yang dilekatkan pada beliau. Mestinya hal ini dilakukan di masa Presiden Megawati, tetapi mungkin karena tidak ingin dituduh subyektif, hal itu tidak dilakukan. Sangat bijak jika SBY yang berani melakukan. Kedua, kasus Pak Harto ditutup dengan penyelesaian politis. Sambil tetap berdoa untuk kesembuhannya seperti saran Din Syamsuddin, para pihak dengan legowo memaafkannya, sehingga kalau nanti beliau wafat, diyakini dalam keadaan husnul khatimah, seperti saran Zainal Ma’arif.
      Ketiga, memberi kompensasi, terutama kepada keluarga korban di masa orba yang membutuhkannya. Mereka yang kehilangan ayah, saudara, anak dan orang-orang yang dicintainya, mungkin dapat dikurangi kesedihannya dengan kompensasi sebagai wujud perhatian pemerintah.  Namun harus diingat, tragedi berdarah tidak hanya dimonopoli di era orba. Era reformasi justru cukup banyak mencatat pertumpahan darah, mulai dari tragedi Banyuwangi, rusuh Ambon, Poso, Sampit, Sambas, dll, yang memakan korban jiwa amat besar, termasuk tragedi perorangan seperti kasus Munir yang masih gelap. Pemerintah di era reformasi harus berani memberi kompensasi kepada keluarga korban secara proporsional, prioritas dan bertahap.
      Pemerintah tidak perlu menghindar atau melempar tanggung jawab, sebab sebagai penerus kekuasaan tentu harus pula siap mewarisi tanggung jawabnya. Kalau pemerintah begitu setia membayar cicilan utang luar negeri, mengapa hutang politik dalam negeri tidak dihiraukan. Di era orba korban terjadi karena pemerintah berhadapan dengan kelompok rakyat, di era reformasi konflik terjadi sesama rakyat,  negara gagal melindungi dan memberi rasa aman pada rakyat. Pemberian kompensasi mungkin kontroversal, tetapi lebih mendekati keadilan dan sesuai dengan hukum agama dan adat. Semoga dengan cara ini, atau cara lain yang lebih bijak, beban-beban sejarah akan semakin ringan, dan bangsa ini lebih plong dan fokus menuju masa depan yang penuh tantangan.
     
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: November 2010