Selasa, 30 November 2010

Antara Soeharto dan Pak Harto


Antara Soeharto dan Pak Harto
Oleh: Ahmad Barjie B

    Soeharto dan Pak Harto orangnya hanya satu, sama, tidak beda. Tetapi penyebutannya di masyarakat berbeda-beda. Saat ini minimal ada tiga cara orang menyebut namanya; Soeharto, mantan presiden Soeharto dan Pak Harto. Ketiga cara tersebut mencerminkan perbedaan sikap dan pandangan orang tentang beliau, baik sesudah lengser maupun saat-saat sakit. Mereka yang menyebut Pak Harto atau mantan presiden Soeharto, masih menaruh hormat, kagum, salut dan tidak ingin melupakan jasa dan kebesaran beliau hanya lantaran beberapa kesalahannya. Sikap ini, dalam ungkapan Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero (melihat kebaikan dan menyimpan kekurangannya).
     Dalam Islam, penghormatan demikian makin dituntut menjelang dan setelah seseorang meninggal. Nabi mengatakan: uzkuruu mahasina mautaakum, wa kaffu an masaawihim (sebut-sebut kebaikan orang yang mati di antara kamu, dan jangan kau sebut keburukannya). Mereka yang masih menaruh hormat pada Pak Harto memegang tradisi leluhur dan menjunjung nila-nilai adiluhung, bahwa orang yang berjasa, sudah tua, sepuh dan sakit-sakitan, tidak pantas dihujat. Memanggil nama seolah  teman sekolah, di luar kepatutan. Orang awam yang dituakan saja  biasanya dipanggil dengan om, tante, paman, bude, pakde, pak le, dst.
     Bagi urang Banjar ada sebutan pakacil, makacil, julak, tangah, acil, suanang dan sualuh, patuha, kai dan nini. Bahkan bagi urang Banjar, sebutan untuk orang terhormat dan ulama lebih spesifik lagi. Misalnya Guru KHM  Zaini Abdul Ghani almarhum, sebutan beliau sangat bervariasi, mulai dari Guru Ijai, Guru Sekumpul, Guru Zaini Ghani, sampai al-Syaikh Shahibul Fadhil al-Alim al-Allamah al-Arief Billah Muhammad Zaini Abdul Ghani. Semua sebutan itu  sah-saja, sebab mencerminkan apresiasi orang terhadap seorang tokoh.
     Bagi yang menyebut Soeharto dengan konotasi negatif, agaknya tidak peduli dengan jabatan, jasa, ketuaan dan kesepuhan beliau. Sikap Pak Harto yang lebih banyak pasrah dan tidak pernah menuntut balik orang yang menghujatnya, serta permintaan maaf dari Pak Harto saat lengser atau maaf dari putrinya Siti Hedijati baru-baru ini, tidak kunjung  membuat tekanan mereka berkurang. Walau ada jarak usia setengah abad, dan ada banyak jasa terpampang di mata, kalangan aktivis penekan tidak mau mengistimewakan Soeharto. Siapa pun orangnya tidak peduli pejabat atau mantan pejabat tinggi, bagi mereka tidak berbeda di mata hukum. Kalau melanggar hukum harus diselesaikan secara hukum.
    Kedua kubu, simpatisan dan penekan inilah yang agaknya terus bertarung di tengah labilnya kesehatan Pak Harto. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kelihatannya sangat ragu dan tidak berani mengambil sikap tegas. Seperti ada ketakutan berlebihan kalau bersikap hitam putih. Akibatnya, pemerintah lebih memilih langkah abu-abu, suatu sikap yang sesungguhnya tidak cerdas dan jentle, sebab tidak solutif.  Running tex Metro TV menyatakan, SBY akan bersikap mikul dhuwur mendhem jero terhadap Pak Harto, bahkan juga terhadap Soekarno, Habibie, Gus Dur dan Megawati. Sikap ini cukup bagus, mencerminkan kebesaran jiwa SBY, tetapi tidak menyelesaikan masalah, karena tidak resmi dan lebih bersifat pribadi. Dulu, Pak Harto juga mikul dhuwur terhadap Bung Karno, tetapi tetap saja ada stigma yang melekat pada Bung Karno. Kalau begini terus, sampai Pak Harto wafat pun saya kira masalah  ini akan tetap mengambang tanpa ending yang melegakan.
Pergeseran sebutan
     Setiap tokoh dalam level dan komunitas apa pun, selalu ada pergeseran cara orang menyebutnya.  Di masa perjuangan kemerdekaan, sebutan akrab yang digunakan adalah Bung, ada sebutan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan Bung Syahrir. Adanya judul lagu “Bung Di Mana” serta “Mari Bung rebut kembali” dalam lirik lagu “Bandung Lautan Api” menunjukkan betapa populernya sebutan Bung saat itu,  sebutan yang kini sudah pudar. Saat Bung Karno berkuasa, di depan nama beliau ada berbagai gelaran seperti Paduka Yang Mulia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, bahkan menjelang jatuh juga dijuluki Presiden Seumur Hidup. Ketika Pak Harto berkuasa, beliau dijuluki The Smiling General, Bapak Pembangunan, Orang Kuat Asia, dan menjelang lengser, bersama AH Nasution dianugerahi gelar kehormatan Jenderal Besar.
     Ketika para tokoh jatuh, gelar-gelar kehormatan ikut berjatuhan. Bung Karno seperti masih belum dipulihkan namanya, padahal jasanya terhadap negeri ini teramat besar. Selain pejuang kemerdekaan, proklamator dan penggagas Pancasila, Bung Karno juga pendiri Gerakan Non Blok dan salah seorang tokoh dunia yang berani melawan neokolonialisme-imperialisme (nekolim) Barat. Tap MPRS yang mengindikasikan beliau terlibat dalam G 30 S PKI 1965 dan pelarangan ajarannya tidak juga dicabut. Saya pernah lihat foto Bung Karno dalam sebuah buku dihapus dengan tinta dan dicoret, pertanda kuatnya stigma negatif terhadap beliau saat itu.
     Nasib relatif sama menimpa Pak Harto, berbagai krisis bangsa ditimpakan sebagai kesalahan selama 32 tahun pemerintahannya. Hari-hari awal reformasi Pak Harto mengalami hujan hujatan. Sebuah Tap MPR berisi kewajiban pemerintah orde reformasi membongkar KKN orde baru dihadiahkan khusus untuk beliau. Perannya sebagai pemelihara Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa, bapak pembangunan, penopang swasebada pangan dan motor stabilitas nasional yang disegani dunia internasional, tidak lagi diingat orang. 
Hukum dan Politik
     Persoalan yang menyelimuti Pak Harto agaknya tidak kunjung hilang, meski sudah sewindu pasca lengsernya. Nama Soeharto sering disebut dengan konotasi negatif, misalnya adili Soeharto, seret Soeharto ke pengadilan, jangan ampuni Soeharto, dan berbagai kalimat vulgar lain. Kalau kita ikuti polling media massa, katakanlah sharing pendapat lewat SMS, sebagian besar masyarakat sudah memaafkan dan minta kasus ini ditutup, karena tidak ada manfaatnya dan hanya jadi komoditas politis. Tetapi mengapa sebagian kecil elit, terutama para aktivis, seperti tidak surut untuk terus menuntut Pak Harto?.
       Masalah yang melilit Pak Harto sangat kompleks, antara ranah politik dan hukum, yang keduanya sama-sama krusial. Kalangan yang memaafkan dan ingin menutup kasus Pak Harto menganggap ini masalah politik, tidak mungkin diselesaikan secara hukum. Pihak lain menganggap, ini masalah hukum, tidak bisa diselesaikan secara politik. Mempertemukan kedua kubu berlawanan ini sangat sulit. Namun ada sedikit titik temu, sebagian dari yang menghendaki solusi hukum tidak keberatan Pak Harto diampuni setelah jelas status hukumnya.
     Cuma masalahnya, bagaimana memproses hukum orang yang sudah sakit parah di usia yang sudah sangat sepuh. Tidak ada sejarahnya, di usia 85 tahun ke atas orang jadi sehat, apalagi Pak Harto mengalami komplikasi penyakit permenen di otak, percernaan, lambung, ginjal, darah dan segala macam penyakit tua seperti keterangan tim dokter. Jadi menunggu proses hukum hanya sebuah kesia-siaan dan mission impossible. Jangankan kasus besar, kasus kecil pun terasa begitu alot bila penyelesaiannya secara hukum.
       Menurut saya, masalah yang menimpa Pak Harto lebih bersifat politis. Pasalnya, selama tujuh kali masa jabatan presiden, beliau sudah mempertanggungjawabkan jalannya pemerintahan. Termasuk aktivitas pengelolaan sejumlah yayasan sosial dan keagamaan seperti Supersemar dan YABMP, hasilnya juga dirasakan Pertanggungjawaban itu selalu diterima secara bulat oleh DPR-MPR, kemudian mandat diperpanjang lagi, begitu seterusnya. Penerimaan itu bukan rekayasa, tidak ditekan dan dipaksa, tetapi disetujui dengan mulus dengan akal sehat dan waras oleh anggota DPR/MPR saat itu.
     Bila orde baru disalahkan, maka kesalahan itu bersifat kolektif, bukan  perorangan. Menyelesaikan masalah politik apalagi hukum, dengan hanya membidik satu orang atau satu kroni, tentu tidak adil dan tidak akan pernah tuntas. Karena itu penyelesaian masalah sebaiknya memang secara politik pula. Pemerintah harus berani bersikap, supaya masalah yang satu ini tidak terus menerus membebani sejarah ke depan.
      Seiring penyelesaian politik, pemerintah boleh melakukan langkah hukum dengan titik berat pada sisi perdata, bukan pidana. Dulu seusai lengser Pak Harto pernah mempersilakan kepada pemerintah penggantinya untuk mengambil harta kekayaannya di luar negeri kalau ada, untuk jadi milik negara. Ternyata hingga hari ini hal itu tidak dilakukan. Publik jadi ragu, apa memang harta karun itu ada. Kalau memang yayasan-yayasan yang dikelola kroni Pak Harto terindikasi KKN mengapa tidak diambil alih asetnya secara baik-baik, tanpa harus menunggu proses hukum. Dan kalau masih fungsional sesuai AD/ART apa untungnya yayasan itu diambil alih. Bukankah manfaatnya untuk kepentingan sosial juga.

Rekonsiliasi total
      Para penentang Pak Harto mungkin ada berasal dari sisa orde lama, nasionalis, kalangan yang merasa dirugikan semasa orba, baik secara politik (matinya demokrasi), secara  ekonomi (mengalami kematian perdata seperti pentolan Petisi 50), secara moral bahkan jiwa (mungkin ada keluarganya yang terbunuh, hilang, diculik) dsb. Selama orba memang tercatat beberapa traedi pertumpahan darah yang bersifat politis seperti Tanjung Priok, Lampung, Semanggi, Trisakti, 21 Mei 1998, ditambah kebijakan DOM di Aceh. Luka anak bangsa yang menjadi korban mungkin belum sembuh.
      Alangkah baiknya sekiranya pemerintah sekarang melakukan rekonsiliasi total. Pertama, posisi Bung Karno harus dipulihkan supaya tidak ada lagi stigma negatif yang dilekatkan pada beliau. Mestinya hal ini dilakukan di masa Presiden Megawati, tetapi mungkin karena tidak ingin dituduh subyektif, hal itu tidak dilakukan. Sangat bijak jika SBY yang berani melakukan. Kedua, kasus Pak Harto ditutup dengan penyelesaian politis. Sambil tetap berdoa untuk kesembuhannya seperti saran Din Syamsuddin, para pihak dengan legowo memaafkannya, sehingga kalau nanti beliau wafat, diyakini dalam keadaan husnul khatimah, seperti saran Zainal Ma’arif.
      Ketiga, memberi kompensasi, terutama kepada keluarga korban di masa orba yang membutuhkannya. Mereka yang kehilangan ayah, saudara, anak dan orang-orang yang dicintainya, mungkin dapat dikurangi kesedihannya dengan kompensasi sebagai wujud perhatian pemerintah.  Namun harus diingat, tragedi berdarah tidak hanya dimonopoli di era orba. Era reformasi justru cukup banyak mencatat pertumpahan darah, mulai dari tragedi Banyuwangi, rusuh Ambon, Poso, Sampit, Sambas, dll, yang memakan korban jiwa amat besar, termasuk tragedi perorangan seperti kasus Munir yang masih gelap. Pemerintah di era reformasi harus berani memberi kompensasi kepada keluarga korban secara proporsional, prioritas dan bertahap.
      Pemerintah tidak perlu menghindar atau melempar tanggung jawab, sebab sebagai penerus kekuasaan tentu harus pula siap mewarisi tanggung jawabnya. Kalau pemerintah begitu setia membayar cicilan utang luar negeri, mengapa hutang politik dalam negeri tidak dihiraukan. Di era orba korban terjadi karena pemerintah berhadapan dengan kelompok rakyat, di era reformasi konflik terjadi sesama rakyat,  negara gagal melindungi dan memberi rasa aman pada rakyat. Pemberian kompensasi mungkin kontroversal, tetapi lebih mendekati keadilan dan sesuai dengan hukum agama dan adat. Semoga dengan cara ini, atau cara lain yang lebih bijak, beban-beban sejarah akan semakin ringan, dan bangsa ini lebih plong dan fokus menuju masa depan yang penuh tantangan.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar