Jumat, 15 April 2011

Melindungi Warga Sipil


Melindungi Warga Sipil

Oleh: Ahmad Barjie B

Perang Libya saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar. Apa hak dasar negara-negara Koalisi membombardir dengan senjata mutakhir yang meluluhlantakkan persenjataan Libya. Apa pula hak negara-negara yang bertemu di London memutuskan rezim Khadafi harus segera diganti karena sudah kehilangan legitimasi. Bahkan Italia sudah mewacanakan agar Khadafi diasingkan ke luar Libya. Apakah legitimasi suatu negara diukur oleh pihak asing yang sejak awal memang tidak suka atau tergantung dari dalam negeri yang masih bisa diperdebatkan.
Bolehkah pihak asing mencampuri urusan dalam negeri negeri lain yang berdaulat sebegitu jauh. No fly zone memang dipayungi oleh Resolusi PBB nomor 1973, namun batasan ini sudah sangat jauh dilanggar, karena yang terjadi Koalisi justru menghancurkan instalasi, pesawat militer Libya, bahkan kompleks perumahan Khadafi, bukan sebatas melarang terbang. Koalisi juga kentara memihak pemberontak, mereka memantik perang saudara. Seolah Libya milik asing dan ingin dipecah belah.
Libya sudah merdeka dari penjajahan Italia sejak puluhan tahun silam. Sama dengan Indonesia, kemerdekaan Libya bukan diberi, melainkan direbut dengan darah dan nyawa pejuang dan rakyat. Jika anda ingat film Leon of the Dessert (Singa Padang Pasir), kepahlawan Omar Mochtar yang memperjuangkan Libya merdeka, yang diperankan oleh Anthony Quinn sungguh luar biasa. Ketika Omar Mochtar yang sudah tua tertangkap dan kemudian digantung oleh penjajah,  ia bepesan kepada rakyat Libya agar terus berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, apa pun taruhannya. Sudah sepantasnya kemerdekaan yang diraih dengan sangat mahal tersebut dihargai dunia.
Setiap negara berdaulat berhak mengatur urusan dalam negerinya sendiri. Masalah suksesi, kepemimpinan negara, model politik yang dianut, mau kerajaan, kesultanan, sosialisme, demokrasi, presidensial, perlementer, semuanya tergantung histori, tradisi, kondisi dan kemauan rakyat. Tidak satu pun sistem politik kenegaraan yang unggul tanpa cacat. Semua ada kelebihan dan kekurangannya. Termasuk demokrasi yang diagungkan sekarang, teramat banyak cacat celanya, karena belum terbukti berhasil menyejahteraan rakyat. Jadi apapun alasannya, asing tidak boleh mencampuri terlalu jauh. Asing hanya boleh membantu, tetapi bukan mengintervensi ke dasar persoalan. Apabila intervensi terjadi, secara fisik, politik, apalagi militer, kemerdekaan suatu bangsa sudah ternoda.
Korban sipil
Di awal perang Libya, alasan yang santer dikemukakan PBB dan Koalisi adalah rezim Khadafi banyak mengorbankan sipil saat menumpas oposisi bersenjata. Berapa jumlah korban sipil itu kita tidak tahu persis. Dalam versi asing jumlahnya enam ribuan. Tetapi tindakan Khadafi itu bisa dipahami. Menurut Dr Evi Fitriani, pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, di negara mana pun jika ada pemberontak bersenjata, tentu juga akan diperangi oleh pemerintahnya.
Dari perspektif hukum Islam, masalah ini ada legitimasinya. Dalam teori politik Islam kelompok oposisi disebut mu’aradhah. Ia dibolehkan (masyru’ah) asalkan sekadar mengeritik penguasa karena ingin memperbaiki negara, tidak untuk kepentingan pribadi, kelompok, mendongkel pemerintah dan tidak pula bersenjata. Kalau sudah bersenjata dan ingin mengganti pemerintahan, namanya al-baghyu (pemberontakan), hukumnya haram dan pelakunya (al-bughat) wajib diperangi.
Kalau ingin melindungi warga sipil, caranya harus menghindari peperangan. Sejak Libya bergolak hingga sekarang, eksodus penduduk terus terjadi. Ada yang pulang ke negara asal dan ada yang tinggal di pengungsian. Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Warga sipil pro Khadafi takut serangan pemberontak, begitu juga sebaliknya. Bahkan bombardir pesawat Sekutu juga memaksa banyak warga sipil Libya mengungsi ke tempat yang dirasa aman. Sejumlah lelaki tua, wanita dan anak-anak terpaksa meninggalkan rumahnya karena takut. Itu artinya serangan dan campur tangan Koalisi, tidak menimbulkan rasa aman,  justru sebaliknya.
Menyerahkan perlindungan warga sipil kepada pasukan Koalisi atau pun Nato yang menyerang Libya saat ini sangat tidak tepat. Sebab selama ini mereka sudah banyak mengorbankan sipil di negara lain, bagaimana mau melindungi sipil Libya.
Laporan Tahunan PBB 2010 mengatakan bahwa korban sipil yang tewas di Afghanistan naik 15 % dibanding tahun 2009. Sebanyak 2.777 warga sipil tewas pada 2010, sebagian besar anak-anak dan wanita. Korban sipil terus berjatuhan sejak AS menggulingkan Taliban 2001. Dalam empat tahun terakhir operasi militer multinasional pimpinan AS tidak kurang 9.000 sipil Afghanistan tewas. Saking banyak dan seringnya warga sipil jadi korban, sampai-sampai Presiden Hamid Karzai yang didukung AS sendiri menolak permintaan maaf dari Menhan AS Robert Gates serta komandan militer AS Jendral David  Petraeus.
Menurut laporan UNRWA, rakyat sipil Palestina yang tewas akibat blokade dan serangan Israel yang didukung AS cs  sejak 2007 mencapai 1.400 orang, menghancurkan 50 ribu rumah, 200 sekolah dan 800 unit industri. Belum lagi ketika Intifada semasa mendiang Yasser Arafat hidup. Jalur Gaza adalah penjara raksasa di dunia, karena diblokade Israel dari segala penjuru, hingga untuk berhubungan ke luar warga Palestina harus membuat terowongan. Mengapa bukan masalah ini yang segera ditangani karena sudah 60 tahun warga sipil Palestina menderita akibat pendudukan Israel.
Tambahan lagi agresi militer AS di Irak mengorbankan lebih 100.000 warga sipil. Menurut al-Muzammil Yusuf, politisi PKS di DPR-RI, angka ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan korban sipil rakyat Libya yang dituduhkan mencapai 6.000 orang. Baginya, tangan AS cs sudah sangat berlumuran darah warga sipil, jadi tidak berhak berbicara perlindungan warga sipil di Libya atau di mana pun.
Aksi Indonesia
Jika PBB ingin dipercayai dunia internasional, perlu melakukan tekanan dan pendekatan kepada rezim Khadafi dan pemberontak agar segera berunding, sehingga warga sipil tidak menjadi korban. Paling rasional menempatkan pasukan perdamaian, sambil mengupayakan solusi damai kepada kedua pihak yang bertikai.
Indonesia yang selama ini netral dan punya hubungan baik dengan Libya perlu mengambil peran aktif. Meskipun terlambat bersuara, Indonesia  sudah menyatakan sikapnya menolak cara-cara kekerasan dalam penyelesaian krisis Libya. Banyak pihak meminta pemerintah Indonesia berperan lebih jauh, tak hanya bersikap, tapi proaktif mencarikan solusi damai. Misalnya menggalang Liga Arab dan OKI agar sama-sama mendekati kedua pihak yang bertikai agar mengakhiri perang saudara. Pasukan perdamaian perlu ditempatkan di medan konflik, sambil mencarikan upaya penyelesaian yang win-win solution. Solusi paling memungkinkan adalah menolak invasi asing, kemudian memberi kesempatan kepada kubu oposisi untuk ikut mengendalikan kekuasaan, dengan tetap mempercayakan Khadafi memimpin Libya sampai ia bersedia mundur secara legowo.
Peran Indonesia juga bisa mengikutsertakan para ulama, karena banyak ulama dan tokoh Indonesia yang selama ini kenal dan akrab dengan Khadafi. Indonesia tidak perlu ikut skenasio asing yang ingin mendongkel Khadafi sekarang juga. Bagaimana pun selama 40 tahun memerintah, di tengah kontroversinya Khadafi cukup berhasil memajukan dan menyejahterakan rakyatmya. Masih banyak rakyat yang menyintai dan siap mati untuknya. Menyerang Libya secara all-out, menyuruh Khadafi turun, lalu mengasingkannya,  tidak segampang yang dikira dan itu pasti bukan solusi tepat.
Dulu dikira Saddam Hussein sumber masalah di Irak. Ia dianggap menyimpan senjata pemusnah massal dan melindungi al-Qaeda. Jauh setelah Saddam digantung dan masuk kubur, semua tuduhan tetap tidak terbukti. Yang terbukti nyata AS cs memang ingin menjatuhkan Saddam dan mengobok-obok Irak saja. Setelah Saddam jatuh, Irak justru tetap tidak stabil hingga harini.  

Pengamat sosial keagamaan, tinggal di Banjarmasin     
      

  



Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: April 2011

Antara Tunisia, Mesir dan Indonesia

Antara Tunisia, Mesir dan Indonesia

Oleh: Ahmad Barjie B

Adakah persamaan antara ketiga negara ini?. Tentu saja ada, tidak saja karena sebagian besar penduduknya muslim, juga dilihat dari konstelasi politiknya relatif banyak kesamaan.
Sejak merdeka dari jajahan Perancis, Tunisia dipimpin oleh Presiden Habib Borguiba. Orang kuat ini berkuasa puluhan tahun sampai diganti oleh Ahmad Ben (bin) Bella, selanjutnya digantikan lagi oleh Zein al-Abidin Ben (bin) Ali, yang baru saja turun dan minta suaka politik ke Arab Saudi.
Entah karena terinspirasi oleh negara tetangganya itu, rakyat Mesir kini bergolak. Mereka ingin melengserkan Presiden Hosni Mubarak sekarang juga, padahal masa jabatannya masih tersisa hingga September mendatang. Walau Mubarak berjanji tidak akan mencalonkan diri lagi, tapi tekanan oposisi kelihatannya sangat kuat. Kelompok pro Mubarak lebih kecil dibanding yang kontra, yang setiap berdemo mencapai jutaan orang.
Posisi Mubarak strategis bagi para pemimpin Arab. Mubarak yang istrinya Suzanne,  berdarah Mesir-Inggris dapat menjembatani hubungan negara – negara Arab dengan Uni Eropa dan AS. Bagi AS Mubarak juga penting, karena dapat memoderasi radikalisme negara-negara Arab anti Israel. Mubarak dan Mesir adalah sekutu penting AS di Timur Tengah.
Tetapi sebagaimana sifat pragmatisme AS selama ini, seorang pemimpin akan didukung jika masih kuat, tapi kalau sudah terdesak, AS juga akan ikut mendesaknya turun. Hal sama dilakukan oleh 27 pemimpin negara Uni Eropa, mereka ramai-ramai mendesak Mubarak turun secepatnya, padahal mereka pula sekutu dekat Mubarak/Mesir selama ini. Kalau reputasi Mubarak jatuh di mata rakyat Mesir, itu juga karena andil AS cs.
Seperti mendiang Pak Harto dulu, saat orde baru pimpinan Pak Harto berhasil menurunkan Soekarno dan menggulung Komunisme, dukungan AS/Barat sangat kuat. tapi giliran Pak Harto terjepit, AS/barat tidak mendukungnya lagi. Jasa Pak Harto menghancurkan Komunisme, yang juga musuh ideologis AS cs, tidak diingat lagi. AS dan Barat-benar benar-benar tidak memiliki persahabatan abadi.
Sebenarnya Mubarak masih kuat memimpin dan punya karisma. Walau usianya sudah 82 tahun, fisiknya masih sehat, rambutnya belum beruban, dan ia tergolong kepala negara tampan di jajaran pemimpin dunia saat ini. Tokoh oposisi selevel Mubarak pun belum begitu menonjol. Muhammad el-Baradei, yag konon didukung ikhwan al-muslimn (IM), meski cukup populer karena sempat menjadi Ketua Pengawas Nuklir Internaisonal (IAEA) dan peraih Nobel Perdamaian, namun lebih banyak berkarier di luar dan belum punya akar politik di Mesir. IM sebagai kelompok oposan terkuat kelihatannya tidak berambisi menggantikan Mubarak. Sekjen Liga Arab Emir Moesa, justru kolega Mubarak sendiri. Kalau ia mewarisi jabatan presiden tentu penolakan tetap kuat. Begitu juga wakil pesiden Omar Suleiman, masih kalah populer dibanding Mubarak sendiri. Sanggupkah Mubarak bertahan, kita lihat saja nanti.
Ekspor revolusi
Jauh sebelum kedua negara bergolak, sebenarnya di beberapa negara Timur Tengah mengalami hal sama. Revolusi Islam Iran meletus 1979, dan saat itu Iran berambisi mengekspor revolusi ke negera-negara tetangga, seperti Arab Saudi dan beberapa negara Teluk lainnya. Ternyata ekspor revolusi kurang laku.  Hal ini disebabkan beberapa negara itu berhasil memakmurkan rakyatnya. Selain itu muslim Iran lebih banyak beraliran Syiah, sedangkan di negara-negara Islam lainnya umumnya Sunni.
Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, secara politik bukanlah negara demokrasi. Begitu juga Libya, Kolonel Moammar Khaddafi sudah berkuasa sejak 1969. Artinya rakyat di negara-negara  itu beralasan untuk melakukan revolusi.Tetapi karena rakyat di negara-negara itu relatif makmur, bahkan tergolong kaya, maka mereka tidak merasa perlu melakukan revolusi. Kalaupun berevolusi, waktunya belakangan. Berbeda dengan Iran, semasa Shah Reza Pahlevi berkuasa selain tidak demokratis, Iran terlalu pro AS, juga ekonomi rakyat buruk. Maka rakyat pun bergolak hingga Shah Reza turun dan lari ke sejumlah negara sampai meninggal di Mesir.
Potret seperti ini terjadi di Tunisia dan Mesir. Meski selama ini negara itu relatif stabil secara politik, namun demokrasinya payah. Dalam rentang waktu lama, tidak banyak presiden yang memerintah Mesir. Selepas revolusi yang berhasil menggulingkan Raja Farouk, Mesir dipimpin oleh Jendral Muhmmad Najib, selanjutnya Jendral Gemal Abdel Nasser, dan setelah itu Jendral Anwar Sadat. Terbunuhnya Sadat 1981 membuka peluang bagi Hosni Mubarak yang juga berasal dari militer (AU). Jadi boleh dikata semua presiden Mesir berasal dari kalangan militer. Adalah wajar jika prinsip-prinsip demokrasi kurang berkembang. Hak-hak politik rakyat kurang mendapat tempat yang layak dan oposisi cenderung ditekan. Ketika tekanan politik berpadu dengan masalah ekonomi yang menimpa sebagian besar rakyat, maka terjadilah revolusi.
Kecenderungan penguasa militer di banyak negara kurang respek terhadap demokrasi. Apabila hal ini berbanding lurus dengan kemakmuran ekonomi, tidaklah terlalu jadi masalah. Sebab demokrasi bukanlah kebutuhan pokok manusia dan tidak mengenyangkan. Tetapi jika di saat yang sama ekonomi tidak menggembirakan, maka di situlah api revolusi akan menyala.
Pemgakuan para WNI yang pulang ke tanah air, ekonomi Mesir dua tahun terakhir memang menurun. Harga bahan pangan semakin mahal, lapangan kerja menyempit dan penganggurna membengkak. PNS pun menuntut kenaikan gaji, sementara ekonomi negara lagi sulit. Jadi pergolakan politik di Mesir saat ini juga banyak dipicu oleh variabel ekonomi. 
Bandingan Indonesia
Sama halnya dengan era Presiden Soeharto yang berkuasa lebih 30 tahun. Di masa jayanya, Pak Harto berhasil melakukan stabilisasi sosial ekonomi dan politik yang mantap.  Banyak rakyat merasa hidup aman dan nyaman. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi moneter, maka gerakan prodemokrasi (reformasi) menguat, hingga akhirnya Pak Harto turun.
Lord Acton mengatakan, the power tends to corrupt.  Kekuasaan Mubarak yang begitu lama meniscayakan terjadinya KKN di kalangan keluarga, partai National Democratic yang berkuasa dan di tubuh pemerintahannya. Situs Daily Telegraph mensinyalir kekayaan Mubarak mencapai Rp 287 triliun.  Hal sama dituduhkan pada Ben Ali yang kini terpaksa hengkang dari negaranya, karena pemerintahannya dianggap korup.  Saat Pak Harto jatuh dulu, beliau juga dituduh melakukan KKN, meski sampai meninggal pengadilan kesulitan membuktikannya. Jadi pemerintahan yang korup dan ketidakmampuan mengatasi korupsi dapat menjadi pemicu jatuhnya sebuah pemerintahan.
 Kesamaan lain antara ketiga negara ini adalah di segi sistem politik. Meski merupakan negara muslim, Tunisia bukanlah negara Islam, Borguiba dan penggantinya cenderung menganut sistem sekuler. Sama dengan Mesir, meski negara itu merupakan pusat kebudayaan Islam dan mercusuar dunia Islam dengan adanya Universitas al-Azhar yang sudah berusia lebih 1000 tahun, namun Mesir juga bukan negara Islam. Kalau Indonesia bukan negara sekuler, bukan pula negara agama. Ada  yang bilang Indonesia ”negara bukan-bukan”.
 Mesir sangat pro Barat, yaitu AS, Inggris, cs. Mesir yang bukan negara petro dollar secara ekonomi banyak dibantu Barat. Boleh jadi kompensasinya adalah, Mesir jangan terlalu pro Islam. Buktinya, meski bersama negara-negara Arab, Mesir pernah berperang melawan Israel, Mesir sejak era Anwar Sadat nekad membuka hubungan diplomatik dengan Israel. AS ingin agar sepeninggal Mubarak hubungan segitiga Mesir, AS, Isreal, tetap terjaga. Karena itu AS berkepentingan untuk ikut menngendalikan revolusi kali ini. AS sebagaimana disuarakan Presiden Obama, meminta transisi politik berlangsung damai. AS khawatir kalau Mesir ke depan dikuasai kaum fundamentalis yang anti AS.
Sebagai salah satu negara terbesar dan memimpin negara-negara Arab, Mesir tidak sungguh-sungguh membela Palestina mencapai kemerdekaannya. Bahkan bantuan relawan asing yang hanya Mesir sebagai pintu utamanya, sangat sulit masuk ke Palestina. Hal ini cukup mengesalkan banyak kalangan, dan tak mustahil juga dari dalam negerinya sendiri. Artinya, rakyatnya pro Palestina, tapi pemerintahannya pro Barat (As cs) sehingga tidak bisa bersikap tegas terhadap Israel. Masalah ini turut memicu ketidakpuasan terhadap Mubarak. Sadat dulu terbunuh justru karena bersedia berdamai dengan Israel pasca Perjanjian Camp David.
Merugikan para pihak
Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir dapat disebut sebagai revolusi. Dalam kajian sosiologis peristiwa ini dinamakan perubahan cepat yang tidak direncanakan (unplanned change) dan tentunya juga tidak dikehendaki (unintended) oleh pemerintahan Ben Ali dan Mubarak. Perubahan begini bila tidak terkendali dapat membawa akibat berupa chaos, konflik sosial politik dan bahkan perang saudara yang merugikan dan membahayakan bagi para pihak yang terlibat. Warga asing pun akan terkena akibatnya.    
People power terbukti banyak berhasil menggulingkan penguasa, seperti di Filipina era Marcos, Indonesia era Pak Harto serta Thailand era PM Thaksin Sinawatra.  Gerakan untuk menggulingkan Hosni Mubarak saat ini cukup massif dan eskalatif. Jadi kemungkinan berhasil juga ada.  Tetapi costnya sosial politiknya mahal. Ekonomi lumpuh, terjadi kepanikan dan evakuasi warga asing, dan korban jiwa sudah berjatuhan. Jika Mubarak bersikeras tidak mundur dalam waktu dekat, eskalasi kekerasan akan terus terjadi.
Posisi Mesir sangat penting, karena Terusan Suez yang menghubungkan antara Laut Tengah (Meditrerania) dengan Laut Arab berada di Mesir. Jadi Mesir merupakan perlintasan barang dan jasa global antarbenua. Jadi dunia berpekentingan agar suasana di Mesir segera stabil. Kalau instabilitas Mesir terlalu lama, otomatis akan mengganggu perekonomian dunia. Lebih-lebih Indonesia yang secara historis-emosional dekat dengan Mesir dan mahasiswa kita banyak kuliah di sana. Evakuasi dan eksodus ke tanah air dalam suasana darurat seperti saat ini bukan persoalan sederhana.
Agar suasana di Mesir kondusif, para pihak dituntut mengendalikan diri. Amien Rais menilai, Mesir adalah negeri tertua di dunia dan berperadaban tinggi. Di Mesir pernah ada firaun, tetapi juga ada Nabi Yusuf, Musa dan Harun. Sejumlah Rasul pernah singgah di Mesir. Alangkah baiknya para elit Mesir dan rakyatnya tetap berpegang pada agamanya, sabar dan terkendali dalam menuntut perubahan.
Penting juga belajar dengan revolusi yang terjadi di negara lainnya. Tumbangnya Presiden Irak Saddam Hussein setelah invasi AS, ternyata tidak menjadikan Irak sekarang lebih baik. Indonesia pun pasca jatuhnya Pak Harto tidaklah begitu baik dan kondusif.  Reformasi  yang dulu bagai angin surga ternyata sekarang banyak mengecewakan. Kehidupan ekonomi rakyat masih berat. Yang  agak merasa enak di masa reformasi ini hanya kalangan pejabat, elit politik dan PNS yang kesejahteraannya terus diperhatikan. Sementara nasib rakyat banyak payah, untuk menyambung hidup saja susah. Tak heran jika banyak rakyat merasa lebih enak hidup zaman dulu.
Jadi alangkah baiknya transisi dan suksesi politik di Mesir berjalan damai. Dengan begitu risikonya tidak terlalu berat, baik bagi pemerintah yang berkuasa maupun rakyat dan warganegara asing yang banyak menjalani hidup di Mesir.  

Pengamat sosial keagamaan tinggal di Banjarmasin. E-mail: Barjiekalua@gmail.com.
.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: April 2011