Minggu, 06 November 2011

Tanbu dan Balangan Perlu Dipertahankan


Tanbu dan Balangan Perlu Dipertahankan

Oleh: Ahmad Barjie B

Indonesia negara besar dan luas, terdiri 17.000 pulau, 5 pulau besar, 30 kepulauan kecil dan baru 5.000 pulau yang sudah dihuni. Jumlah provinsi 33 dan kabupaten/kota 491. Jumlah ini lebih sedikit dibanding Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam dll, yang negaranya jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Melihat angka ini pemekaran wilayah semestinya tidak perlu dipersoalkan. Pemekaran tak hanya dilakukan Indonesia, tetapi juga oleh banyak negara seperti Rusia, Nigeria, Pakistan, Kanada dan banyak lagi.
Di negeri ini, pemekaran tampaknya banyak menimbulkan persoalan. Di tengah sikap pro dan kontra dan adanya keinginan kuat melakukan moratorium pemekaran, ramai diberitakan, Kabupaten Tanah Bumbu (pecahan Kotabaru) dan Kabupaten Balangan (pecahan HSU) terancam akan dikembalikan kepada kabupaten induk, karena dinilai belum berhasil memenuhi tujuan pemekaran. Kementerian Dalam Negeri akan semakin progresif melakukan penilaian, dan jika tidak ada perkembangan signifikan,  ancaman akan menjadi kenyataan.
Masalah ini menimbulkan polemik di kalangan elit, akademisi dan masyarakat. Ada yang bersikap pasrah, ada yang menolak bergabung kembali dan ada yang menilai penggabungan sebuah konsekuensi logis jika tujuan pemekaran tidak terpenuhi.
Penulis walau bukan berasal dari dua kabupaten yang disoroti, lebih setuju pemekaran di kedua daerah itu tetap dipertahankan. Selain untuk menghargai perjuangan para perintisnya yang tidak ringan, juga karena pemekaran lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya.

Tak perlu ditekan
Pemekaran intinya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada daerah baru, serta meningkatkan infratruktur agar pelayanan masyarakat lebih dekat, mudah, cepat dan memuaskan.
Pada sebagian daerah ada pemekaran yang cenderung dipaksakan, sehingga terjadi masalah. Hal itu bisa terjadi, karena faktor pendorongmya bersifat sentimen kedaerahan, perbedaan agama, budaya, emosi primordialisme, konflik elit, dan pembagian kekayaan alam dan kesejahteraan yang timpang dan terabaikan. Konflik pemekaran yang pernah teradi di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Papua dan sebagainya, boleh jadi karena faktor tersebut.
Bila kita amati proses pemekaran Tanah Bumbu dan Balangan, faktor pemicu pemekaran yang berkonotasi negatif hampir tidak ada. Artinya pemekaran di kedua daerah itu hal yang wajar dan alami, mengingat kabupaten induknya terlalu luas.dan persyaratan pemekaran pun sudah terpenuhi, yaitu kabupaten minimal memiliki 5 kecamatan. Dan sebelum menjadi kabupaten, kedua daerah juga sudah relatif lama menjadi daerah administratif, yang oleh  PP Nomor 78 tahun 2007 disyaratkan minimal 7 tahun.
Pemerintah dan masyarakat di kedua kabupaten itu kelihatannya sudah menikmati eksistensi daerahnya sebagai kabupaten, dan pemerintahan pun sudah berjalan relatif normal. Lantas apa yang dipersoalkan sehingga Kemendagri mengancam akan menghapuskan dan mengembalikan ke kabupaten induk.

Evaluasi prematur
Apabila kesejahteraan masyarakat dijadikan infokator penilaian, hal itu terlalu prematur dan subjektif. Pemerintah (pusat) sendiri sudah berkali-kali berganti presiden, berganti-ganti kabinet, tetapi juga tidak kunjung mampu menyejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat di daerah tidak terpisahkan dari kebijakan pusat dan kesejahteraan rakyat Indonesia keseluruhan. Bagaimana rakyat di daerah lebih sejahtera, kalau harga BBM dan sembako yang lebih banyak dibeli terus naik.  Bagaimana daerah yang kaya SDA akan sejahtera, kalau yang menikmatinya hanya pengusaha dan bagi hasil SDA pun justru pemerintah pusat yang lebih besar porsinya. Jadi, tidak tepat membebankan kesejahteraan masyarakat hanya kepada pemerintah di daerah pemekaran. Kemakmuran dengan indikator utama kesejahteraan sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan banyak dipengaruhi variabel lain.
Kita justru curiga, moratorium pemekaran dan kini ancaman untuk mengembalikan daerah pemekaran kepada kabupaten induk, lebih karena ketidakmampuan pemerintah pusat menyediakan dan membagi dana pembangunan. Maklum, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang disediakan  pemerintah untuk semua provinsi dan kabupaten/kota memang  besar, dan ini menjadi beban APBN dan non APBN. Belum lagi dana pemilu dan pilkada yang terus meningkat yang tentu berbanding lurus dengan banyaknya jumlah provinsi dan kabupaten/kota. Tidak berbeda dengan kebijakan Pemko dan DPRD Banjarmasin yang melakukan regrouping RT/RW dengan alasan administrasi, tetapi hakikatnya lebih untuk penghematan karena jumlah RT/RW yang terlalu banyak penggajiannya membebani APBD. Sebelum Ketua RT/RW diberi gaji, tak ada regrouping, justru pemekaran difasilitasi.
Indikator lain yang digunakan adalah masalah infrastruktur daerah. Hal ini tidak dapat ditingkatkan secara sim salabim, karena sangat tergantung pada dana, baik bantuan pusat, provinsi maupun kemampuan daerah itu sendiri.

Pembenahan ulang
Moratorium pemekaran memang diperlukan, dalam arti tidak perlu ada tambahan daerah baru. Tetapi terhadap kabupaten yang terlanjur dimekarkan, kita sangat harapkan dapat dipertahankan. Pengembaliannya ke daerah induk tidak selalu menyelesaikan masalah, bahkan tak mustahil menimbulkan masalah baru.
Lebih baik mencari solusi cerdas dan rasional, misalnya pertama, mengutamakan dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Selama ini pembentukan daerah baru identik dengan pembangunan fisik kantor-kantor pemerintahan, misalnya kantor bupati, DPRD, dinas-dinas dan sebagainya. Semua itu sangat banyak menyedot dana, sehingga rakyat tidak kebagian. Seharusnya cukup menggunakan perkantoran yang ada saja. Perlu aturan tegas dan juga kemauan pemerintah daerah bersangkutan, untuk tidak membangun perkantoran dulu, misalnya minimal 10-15 tahun. Ketika daerah itu sudah mapan dan posisinya sebagai daerah otonom tidak tergoyahkan lagi disertai indikator pendukung, barulah dibangun perkantoran. Perlu lebih diprioritaskan pembangunan infrastruktur pelayanan dan pemberdayaan publik, seperti rumah sakit, pasar, jalan, jembatan, irigasi, pusat agroindustri, sekolah dan sejenisnya.
Kedua, para elit, pejabat dan tokoh daerah hendaknya menjadikan daerah pemekaran sebagai ladang pengabdian secara lebih optimal. Bukan sebagai ladang untuk mencari dan berebut jabatan publik strategis yang tidak diperoleh di daerah induk. Para putra daerah yang berada di perantauan juga dapat dipanggil pulang untuk mengabdi di daerah asal. Sebaiknya sumber PAD tidak mengandalkan potensi SDA, karena hal itu berisiko merusak alam dan membahayakan, tak hanya bagi daerah bersangkutan, juga daerah lain. Jajaran kepala daerah perlu lebih cerdas mencari pemasukan dan peningkatan taraf hidup rakyat, di luar SDA, misalnya menggalakkan perdagangan dan agroindutri yang ramah lingkungan.
Ketiga, evaluasi pusat hendaknya 20-25 tahun. Jika beban terlalu berat, pemerintah pusat bisa  memberikan DAU dan DAK hanya kepada kabupaten induk, lalu melalui aturan yang jelas dibagi secara proporsional dengan kabupaten pemekaran. Beban APBN akan berkurang, sekaligus menurunkan semangat daerah-daerah memekarkan diri.
Kita berharap, teguran ataupun ancaman Kemendaagri sebaiknya hanya sebagai terapi kejut sekaligus motivasi bagi daerah dan masyarakat untuk bekerja lebih giat lagi.

Mantan Ketua RW 10 Kelurahan Pekapuran Raya Banjarmasin         
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar