Senin, 17 September 2012

Guru dan Karya Tulis


Guru dan Karya Tulis

Oleh: Ahmad Barjie B

Sebuah media edisi 16 Juli 2012 memberitakan “Guru Wajib Bikin Karya Tulis”. Permenpan No. 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya menjadi dasar diwajibkannya guru menulis. Kalau dulu ketentuan ini berlaku untuk guru yang akan naik pangkat dari IVa ke IVb, kini dari IIIb ke IIIc. Menurut Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Kalsel Muhammad Marwani, bentuk karya tulis dimaksud adalah artikel di koran dan karya ilmiah lainnya.
Media massa sudah sering menyoroti langkanya guru berkarya tulis. Hal ini menghambat peluang mereka menjadi guru berprestasi daerah dan nasional. Banyak guru juga kesulitan mencapai golongan pangkat tinggi karena terbentur masalah ini. Padahal bersama kualifikasi dan sertifikasi guru, kemampuan menulis tidak bisa diabaikan.
            Guru di Kalsel umumnya minim karya tulis, baik tulisan ilmiah populer di media massa, karya fiksi, laporan penelitian, apalagi buku. Sebenarnya guru berkarya tulis, termasuk buku, bukan mustahil. Buktinya, sejumlah buku ajar SD-SLTA karya para guru di Jawa. Mereka aktif mengajar dan produktif menulis.

Beberapa Kendala
Ada prakondisi dan kendala sehingga karya tulis guru langka dan kemampuan di bidang ini rendah. Budaya tulis di masa lalu kalah oleh budaya tutur. Banyak cerita rakyat dan ungkapan tradisional beredar dari mulut ke mulut, tanpa tahu siapa penulisnya. Ini berlanjut di tengah membanjirnya televisi dan internet, yang lahir filming society, bukan writing society.
Taraf hidup sosial ekonomi masyarakat, termasuk guru dulu relatif rendah karena gaji minim, fokus pikiran hanya mengajar dan mendapatkan penghasilan tambahan. Saren Kiergekaart mengatakan, primum vivere deinde philosophare (hidup dahulu baru berpikir). Menulis menuntut energi  ekstra, serius dan fokus, kurang kondusif jika pikiran kusut oleh urusan perut, kerja dan nafkah. Tetapi seiring membaiknya kesejahteraan guru dewasa ini, alasan perut tidak lagi tepat. Guru harus mencoba dan berusaha menulis. Kalau alasan ekonomi dan waktu terus dijustifikasi, sampai mati pun tidak sempat menulis.
Guru belum memahami tuntutan kompetensi secara komprehensif. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menuntut empat kompetensi guru: kompetensi kepribadian berupa akhlak dan moral terpuji agar bisa diteladani; kompetensi profesional berupa kemampuan menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam; kompetensi paedagogis kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik; dan kompetensi sosial ditandai kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan kalangan eksternal, termasuk masyarakat.
Guru hakikatnya mendidik dan mengajar di sekolah dan luar sekolah. Lewat karya tulis guru menuangkan aspirasi dan pemikirannya untuk perbaikan, pencerahan dan kemajuan peradaban. Belum bisa dikatakan guru seutuhnya jika hanya tenggelam dalam rutinitas mengajar di sekolah tanpa berkarya yang lebih bernilai abadi. Sesuai akar historis guru, yaitu Mpu atau Batara Guru. Tepat ungkapan, verba volent scripta manent, pembicaraan akan lenyap, tulisan akan abadi.
Faktor lain kurangnya motivasi eksternal. Lomba karya tulis yang digelar selama ini hadiahnya kecil, jauh beda dengan lomba lain seperti olahraga, seni, modeling dan kontes kecantikan. Guru yang berhasil membuat karya tulis belum beroleh penghargaan memadai. Kredit poinnya relatif kecil, padahal perjuangan menyelesaikan sebuah tulisan cukup berat, harus banyak membeli, membaca dan menelaah buku serta sumber informasi lainnya. Tulisan guru yang muncul di media massa juga kurang direspon atasan dan sesama guru. Kepala Sekolah cuek saja ketika ada anak buahnya menulis,.padahal untuk bisa dimuat juga berat. Mestinya dimotivasi agar guru-guru lain terangsang menulis.
Masih ada media yang  belum menghargai karya tulis. Ini menghambat motivasi menulis. Sebagian guru, bahkan guru besar dan pakar lebih senang berceramah dan mengisi seminar sebab insentifnya besar dan instant, ketimbang menulis yang belum tentu dimuat dan kalaupun dimuat ada yang tanpa honor.

Saran Masukan
Kalau selalu dicari, ada sederet alasan untuk tidak menulis. Tetapi alangkah bijaknya jika kita berusaha menulis, bagaimana pun caranya. Perlu ditanamkan motivasi internal, menulis itu penting bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi guru senior, tentu sarat pengalaman suka dan duka yang berguna bila mau berbagi cerita. Motivasi tidak harus berupa materi dan uang. Hindari suka melecehkan dan meremehkan karya orang. Cobalah menikmati tulisan sendiri dan orang lain, sehingga tumbuh rasa butuh dan apresiasi. Diharapkan, menulis yang semula beban berubah menjadi kebutuhan. Kalau sudah butuh, waktu menulis pasti akan ada. Umumnya penulis aktif karena kebutuhan, mereka menikmati relaksasi dan orgasme intelektual lewat tulisan. Terus membaca dan menulis membuat kita rendah hati, kita merasa bodoh karena begitu banyak yang kita tidak tahu. Malas membaca dan menulis, membuat kita seolah merasa pintar, padahal sebenarnya bodoh.
Banyak membaca memberi penguatan dan pengayaan ilmu. Membaca berbanding lurus dengan menulis. Jepang banyak menghasilkan karya tulis karena bangsa Jepang gemar membaca. Idealnya guru punya perpustakaan mini di rumah. Bacaan tidak terbatas materi ajar sekolah, juga masalah lain yang terkait atau dianggap penting untuk memperluas wawasan. Selama ini guru-guru minim yang mau berlangganan koran, majalah, jurnal dan membeli buku secara teratur dari uang sendiri. Bahkan buku gratis pun tidak dibaca optimal. Semakin banyak membaca otomatis mendorong menulis. Ibarat air yang dituang ke gelas, menulis adalah limpahan dari membaca. Pada saat sama guru perlu melakukan riset sederhana pada materi asuhannya. Hasil penelitian memotivasinya menuangkan dalam karya tulis.
Secara private guru-guru dapat belajar menulis pada siapa saja, tanpa perlu merasa malu dan terlambat. Sekolah dan dinas pendidikan hendaknya meningkatkan pelatihan tulis-menulis populer dan ilmiah, penelitian tindakan dan sejenisnya, dengan memanfaatkan SDM yang ada di kalangan guru maupun dari luar. Juga memiliki media sendiri yang dapat memfasilitasi karya tulis guru, yang diterbitkan mingguan, bulanan, dst. Menulis di media massa besar mungkin seleksinya ketat, media sendiri akan lebih memungkinkan. Kerjasama dengan media agar tulisan guru lebih diberi peluang juga penting.
Era otonomi dengan dana pendidikan yang meningkat, guru-guru hendaknya dirangsang menulis buku bernuansa kedaerahan dan difasilitasi penerbitannya. Tidak saja muatan lokal, juga mata pelajaran wajib dan pilihan. Misalnya sejarah, selama ini terlalu nasional sentris, sehingga sejarah lokal kurang terakomodasi. Buku-buku karya penulis daerah yang sudah ada perlu dijadikan bahan ajar. Diharapkan dunia penulisan dan perbukuan di daerah akan bersemangat.

Penulis freelance dan penulis buku, tinggal di Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: September 2012

Smile Train dan Gertasbal Bibir Sumbing


Smile Train dan Gertasbal Bibir Sumbing
Oleh: Ahmad Barjie B

Bibir sumbing (labioschisis) adalah cacat bawaan yang masih ditemui di banyak negara. Frekuensinya berbeda-beda pada berbagai budaya, ras dan negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. Fogh Andersen melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit di Denmark mencapai 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson di Inggris. Neel juga menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang. Di Indonesia belum diketahui secara pasti, disebutkan terjadi satu kejadian setiap 1.000 kelahiran.
Jumlah  penderita bibir sumbing di Indonesia bertambah 3.000-6.000 orang setiap tahun atau satu bayi setiap 1.000 kelahiran. Data Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan Langit-langit (YPPCBL) tahun 2008, sejak 1979 sampai 2008 operasi dan perawatan bibir sumbing mencapai 11.472 kasus di seluruh Indonesia atau 395 orang per tahun. Karena berbagai macam kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal. Hanya 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi.

Lembaga Peduli
Menyadari masih banyaknya penderita, sejumlah hartawan dan dermawan di Amerika Serikat dan negara kaya lainnya membentuk lembaga sosial nonprovit bernama Smile Train. Lembaga ini mengemban misi melakukan gerakan penuntasan global (gertasbal) bibir sumbing.  Obsesinya  ”changing the world one smile at a time”.  
Organisasi ini tersebar di 160 negara, salah satunya Indonesia. Di negeri ini Smile Train sudah menjalin kerjasama dengan 60 buah rumah sakit pemerintah dan swasta, salah satunya RS Pahlawan Medica Center (PMC) Kandangan HSS pimpinan Dr Hartono Tenggono.  Menurutnya, Smile Train sangat peduli terhadap penderita bibir sumbing, dan ingin melihat semua anak penderita dapat tersenyum sehat. Tak hanya anak dan balita yang disasar, bahkan orang tua yang sudah di ujung usia pun diberi kesempatan untuk dioperasi agar bias pulih dari kecacatannya.
Smile Train bersedia mensupport dana 400 USD (+- Rp 3.800.000,-) per pasien. Dengan dana ini PMC Kandangan berani memberikan pelayanan secara gratis kepada setiap pasien, bahkan juga memberi biaya transportasi Rp 100.000,- per pasien.  Dokter ahli yang sering mengerjakan operasi adalah Dr Dharma dari Banjarmasin dan Dr Ramli dari Menado. Semua pasien dilayani tanpa persyaratan dan prosedur yang rumit, dan tanpa membedakan status sosial ekonomi, agama, suku, usia, jenis kelamin, golongan dan daerah asal.
Pasien tidak dipungut biaya apa pun. Menurut Dr Hartono, keluarga pasien hanya dituntut membayar ”utang”, berupa kemauan untuk menyebarkan informasi ini kepada tetangga dan masyarakat di mana saja. Keterbatasan media sosialisasi dan informasi, PMC meminta setiap keluarga pasien yang sudah ditangani berperan seperti multi level marketing, supaya semakin banyak orang tahu dan memperoleh layanan. Calon peserta dapat mendaftar langsung ke PMC Kandangan. Karena keseriusannya, PMC Kandangan berani memasang spanduk bahwa rumah sakit ini memberikan pelayanan gratis operasi bibir sumbing kerjasama dengan Smile Train USA.


Patut didukung
Adanya lembaga dan rumah sakit yang bersedia memberikan layanan gratis semacam ini patut didukung dan diinformasikan lebih luas. Dengan demikian, warga masyarakat, terutama kalangan kurang mampu memiliki banyak pilihan dalam merawat atau mengobati penyakit dan cacat yang diderita. Pertama, menggunakan fasilitas Jamkesmas/Jamkesda melalui RS milik pemerintah. Kedua, melalui bakti sosial instansi, perusahaan bahkan partai yang biasa menggelar kegiata sosial di hari ulang tahunnya atau jelang pemilu. Ketiga, melalui organisasi atau lembaga seperti Smile Train ini. Semua dapat saling mendukung dan melengkapi.
Operasi bibir sumbing tidak bisa dianggap ringan. Jika harus membayar mencapai Rp 9 hingga 16 juta per pasien. Angka ini tentu sangat berat bagi masyarakat kebanyakan yang berada dalam taraf ekonomi menengah bawah di mana penderita bubir sumbing banyak berasal.  Bibir sumbing memang cacat bawaan yang menjadi masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi lemah. Akibatnya operasi sering dilakukan terlambat dan malah ada yang dibiarkan sampai dewasa (FK Bandung, 2010).
Berbeda dengan biaya sunatan (khitan) yang relatif murah, sekiranya orangtuanya istirahat merokok barang seminggu sudah bisa membayarnya. Sementara untuk operasi bibir sumbing jelas berat jika harus membayar. Tak heran ada keluarga pasien yang setengah tidak percaya ada jasa layanan operasi bibir sumbing gratis.
Apapun masalahnya, bibir sumbing harus kita terima sebagai sebuah fenonema sosial kesehatan. Keluarga harus menerima dengan lapang dada dan berusaha mencari solusi. Warga masyarakat hendaknya juga turut membantu baik informasi, pikiran, tenaga maupun dana, supaya tak ada penderita yang terpojok, malu dan merana dalam kesendirian.
Penyebab cacat ini multifaktorial, selain genetik juga terdapat faktor nongenetik dan lingkungan. Juga usia ibu waktu melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn waktu hamil dan defisiensi vitamin B6.
            Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa bibir sumbing muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan faktor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis (FK Bandung, 2010).
            Mengantisipasi dan mengkaji bibir sumbing sama pentingnya dengan mencari dan memberikan solusi ketika bibir sumbing telah terjadi. Semoga ke depan semakin banyak penderita yang tertolong.




Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: September 2012

Relasi Budaya Banjar Malaysia


Relasi Sejarah Banjar Malaysia

Oleh: Ahmad Barjie B

Antara banua Banjar dengan Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) terdapat ikatan historis dan emosional yang kuat. Beberapa waktu lalu pimpinan dan kru Banjar TV beserta para tokoh lainnya bertandatang ke Malaysia. Tampak di situ bahwa begitu banyak urang Banjar yang eksis di Malaysia, baik sebagai ulama, pejabat, pedagang dan pengusaha. Sebagian mereka tampak merindukan tanah Banjar, walaupun hanya sebagian berkesempatan menginjakkan kaki di tanah leluhur.
Di antara mereka ada yang berusaha datang ke banua Banjar. Seperti beberapa bulan sebelum Ramadhan lalu, ada sejumlah tokoh dan ilmuwan Malaysia berdarah Banjar yang menyempatkan untuk menjenguk banua. Mereka juga sempat bertemu dan beramah tamah dengan Sultan Banjar Pangeran H Khairul Saleh di Martapura. Tampak pula di situ bahwa inguh Banjar mereka itu masih sangat kental. Artinya, meskipun sebagian besar sudah lahir di Malaysia, tapi budaya Banjar, khususnya bahasa mereka tak ikut hilang.

Beberapa pendapat
Guna melihat seberapa jauh relasi Banjar – Malaysia, dapat kita kemukakan beberapa pendapat para ahli. Prof Sulaiman Samsuri, dari Malaysia, dalam konges Buaya Banjar II, 2010 menyatakan, di Malaysia, urang Banjar biasa disebut suku kaum Banjar. Rata-rata suku kaum Banjar yang ada di Malaysia berasal berasal dari Borneo, khususnya Kalimantan Selatan.
Penghijaran (migrasi) suku kaum  Banjar ke tanah  Melayu (nama Malaysia sebelum tahun 1963) melalui dua ombak besar (wave). Ombak (gelombang) pertama sekitar akhir abad ke 18, mereka terdiri dari para ulama dan guru agama yang bertujuan semata-mata untuk menyebarkan agama Islam.  Tempat-tempat yang mereka lewati dan datangi adalah bandar-bandar tempat kekuasaan para raja Melayu, seperti Alor Star, Kuala Kangsar dan Kota Bharu.  Karena mereka ulama dan berilmu agama maka mereka mudah diterima oleh kalangan istana dan masyarakat setempat. Ulama Banjar ikut berperan aktif dalam dakwah Islam di tanah Melayu. Di antara ulama besar asal Banjar yang terkenal adalah Tuan Haji Husin di Kedah dan Gusti Alias di Perak.
Gelombang kedua,  terjadi pada pertengahan abad ke-19. orang Banjar menyeberang ke tanah Melayu untuk memperbaiki kehidupan ekonomi. Mereka melakukan penghijrahan dengan membawa serta keluarga. Mereka memilih pekerjaan bertani, membuka sawah ladang. Kedatangan ornag Banjar ini sangat bermakna bagi tanah Melayu, karena berdampak pada terbukanya lahan-lahan pertanian (kebun karet/getah dan sawah/padi). Kawasan tersebut seperti di Kerian, Sungai Manik, Sabak Bernam dan Tanjung Karang. Dalam bidang perkebunan urang Banjar sangat berperan menonjol dan dibanggakan produktivitas dan keahliannya dalam bersawah ladang, terutama di  Batu Pahat, Selama, pantai barat Selangor dan Bagan Datoh. Orang Suku Banjar selalu ada dalam perkebunan getah, kelapa dan buah-buahan.
Menurut Dr Muhammad Salleh Lamry, dosen jurusan antropologi dan sosiologi Universiti Kebangsaan Malaysia, penghijrahan urang Banjar ke Malaysia juga banyak disebabkan tekanan penjajah Belanda. Mereka mulanya tidak langsung berhijrah ke tanah Melayu, melainkan lebih dahulu ke Sumatra, kemudian ke tanah Melayu. Terjadinya perang Banjar menjadi penyebab utama suku Banjar hijrah atau madam ke Sumatra dan semenanjung Melayu (Malaysia). Sampai penjajahan Japun (Jepang) masih banyak urang Banjar hijrah ke Malaysia, mencapai 2,5 %.  Perkampungan urang Banjar biasanya berdekatan dengan kampung perantau Indonesia dari daerah lain misalnya Jawa, Minang, Mandailing, dll. Mereka baru berkurang hijrah setelah Indonesia  merdeka.

Belum kompak
Sejak tahun 1970, kebijakan ekonomi pemerintah Malaysia semakin ditekankan pada ekonomi pertanian. Maka dibukalah sejumlah perkebunan besar sawit terutama di Pahang, Perak, Johor, dan Negeri Sembilan. Kembali urang Banjar memainkan peranan penting karena mereka sangat berbakat dalam bersawah ladang. Pengamatan peneliti, lebih 70 % pengelola/pelaksana  kebijakan ekonomi perkebunan sawit adalah urang suku Banjar. Karena itu pemerintah pusat dan pemegang otoriti daerah di Malaysia, tidak bisa mengenyampingkan peran suku Banjar dalam membangun ekonomi Malaysia.
Menurut Dr Zarihan Syamsuddin, sebelum merdeka, urang Banjar enggan menjadi pegawai pemerintah Inggris. Hal ini karena urang Banjar enggan bersekolah di sekolah-sekolah Inggris sebagai jalan untuk menjadi pegawai. Mereka lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah ugama/pesantren yang terkenal di kota-kota Kedah, Perak dan Kelantan.
Tetapi sesudah Malaysia merdeka tahun 1957, sedikit demi sedikit urang suku Banjar mulai tertarik bersekolah ke sekolah-sekolah sekular, kuliah dan universiti. Perubahan sikap ini semakin kuat setelah terbentuknya Malaysia tahun 1963 dan terciptanya Dasar Ekonomi Baru 1970.
Sekarang ini sudah amat banyak urang suku Banjar yang berkhidmat di jawatan menteri, pentadbir universiti. Profesor dan pegawai atasan kerajaan. Tetapi mereka ini memiliki sifat ego, dan memilih memisahkan diri dari suku Banjar awam.
Prihatin akan hal ini, sebagian urang Banjar mendirikan pertubuhan (organisiasi)  yang terdaftar dengan nama Pertubuhan Banjar Malaysia (PBM), yang pengurus dan anggotanya kalangan orang Banjar perkampungan, petani, pengawai pertengahan, swasta dan awam. Orang Banjar yang sudah sukses di jabatan tinggi tidak mau menjadi pengurus dan anggota PBM, karena malu kalau diketahui identitasnya sebagai orang/berdarah Banjar.
Pada awalnya suku Banjar membawa berbagai kesenian ke tanah Melayu, seperti  madihin, baahui, bapukung anak dan baarak. Kini beragam kesenian itu sudah pupus. Kini mereka bertani sudah banyak menggunakan mesin, dan para orang tua sudah mengantarkan anak-anaknya ke penjagaan anak-anak dan taman-taman bimbingan kanak-kanak. Urang Banjar di Malaysia sebagaimana suku-suku lainnya sudah tergerus industrialisasi dan modernisasi.
Meksi selama ini hubungan Indonesia – Malaysia kadang terganggu oleh kasus-kasus budaya, konflik perbatasan dan masalah TKW/TKI, kita berharap hubungan ini dijaga dengan baik. Tak ada untungnya kita bertikai dengan bangsa serumpun ini. Kalau kita memusuhi mereka, hakikatnya memusuhi saudara kita juga.
Kita juga berharap keturunan Banjar di sana bisa kompak, jangan terpisah karena status sosial ekonomi yang berbeda.  Alangkah baiknya kekompakan itu bermuara pada kemauan untuk membantu negeri asal banua Banjar, minimal mau berkunjung ke Banjar, barang sekali dua seumur hidup.          
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: September 2012

Artis, Lagu dan Ketersinggungan Agama


Artis, Lagu dan Ketersinggungan Agama

(Banjarmasin Post, 18 September 1998)

Penyanyi, fotomodel dan artis sinetron Desy Ratnasari belum lama ini menyampaikan permohonan maafnya kepada umat islam, termasuk para ulama, atas lagu Takdir yang terlanjur dinyanyikannya dan kasetnya sudah beredar di pasaran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketuanya Prof. KH. Ali Yafie setelah mendapat protes dari anggota masyarakat, meminta agar lagu ciptaan Chossy Pratama itu ditarik dan direvisi, dan pihak produser pun cepat menanggapinya.
Memang di antara syair lagu ada kalimat ”takdir sungguh kejam”, dan inilah yang menjadi pemicu kontroversi, karena dianggap dapat mengganggu dan tidak sejalan dengan akidah islamiyah. Desy yang mengaku masih awam dalam ilmu agama sekaligus menyatakan permohonan ampun kepada Allah, dan berjanji untuk lebih korektif dan teliti di kemudian hari.
Peristiwa seperti ini sebenarnya bukan baru. MUI Sumatera Barat juga pernah melarang tembang tradisional berjudul ”Senja di Surau Tuo”. Isi dan syair lagu ini juga dianggap tidak sesuai syariat islam, sebab mengisahkan seseorang yang menyanyikan lagu kerinduan cinta di senja hari di surau (musholla) tua, suatu hal yang tidak lazim dalam kehidupan umat Islam.
Sama namun tidak serupa, sejumlah ulama dan kiai Kabupaten Purworedjo Jawa Tengah juga pernah meminta pelarangan ”Tari Ndolalak” yang akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan sudah memasyarakat di daerah setempat, yang biasanya digelar jika ada orang punya hajat. Tari ini, menurut salah seorang dosen Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta. Sri Sudiyati, merupakan akulturasi antara dansa dan seni tradisional, juga campuran antara tarian jawa dan silat.
Semula orang-orang Belanda menyanyi dengan tarian serupa yang berisi syair-syair lagu kerinduan kampung halaman, sambil berdansa dan mabuk. Masyarakat setempat kemudia mengadopsinya dengan mengganti syairnya dengan shalawat dan puji-pujian atas Nabi Muhammad yang sudah menjiwa di kalangan masyarakat. Mulanya penyanyi dan penarinya laki-laki dengan pakaian wajar dan sopan. Tapi kemudian berkembang dan dinyanyikan oleh gadis-gadis belia berpakaian celana pendek ketat di atas lutut. Dibarengi gerakan meliuk-liuk, jadilah kesenian ini menjadi erotis dan sensual. Hal inilah yang menjadi kontroversi sampai diprotes para ulama, karena dianggap haram dan berpengaruh negatif terhadap generasi muda.

Beralasan

Adanya protes dan pelarangan terhadap suatu karya seni, karena dianggap menyinggung agama, pada dasarnya wajar saja. Karena betapa pun, sasaran sebuah karya seni, apa pun namanya, tentu masyarakat Indonesia yang beragama.
Lagu ”takdir” misalnya, meski hanya satu kalimat yang agak mengganggu, tetap perlu direvisi. Dalam perspektif islam, percaya kepada takdir baik dan buruk merupakan salah satu rukun iman, yakni rukun keenam dari Arkanul Iman (Shahih Muslim 1:27). Menurut Diyaaddin Khalid al-Baghdadi (1989:59), the last of the six fundamentals of imaan is ’to believe in qadar (that is) that good (khair) and evil (sharr) are from Allah”.
Jadi takdir itu, baik atau buruk, semuanya sudah ditentukan Allah. Takdir baik seperti sehat, kaya, senang, bahagia, berkedudukan dan lainnya, atau takdir buruk seperti sakit, kematian, lapar, krisis ekonomi, putus cinta, menderita dan berbagai bencana, keduanya sama-sama merupakan cobaan Allah bagi orang-orang beriman, karena kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi dan kepada Dialah tempat kembali (QS Al-Baqarah: 155-6). Tidak  bisa takdir ini dianggap kejam, sebab ia berguna bagi manusia untuk mengetahui sejauhmana kualitas keimanannya, mana yang imannya merupakan emas murni dan mana yang tiruan dan sepuhan.
Untuk memahami semua ini, tentu diperlukan pengetahuan agama yang memadai. Karena itu kita salut kepada pencipta lagu, produsen dan penyanyi yang bersedia meralat dan menarik lagunya. Tentunya dengan konsekuensi sekian dana dan energi yang terbuang. Namun agar hal itu tidak terulang di kemudian hari, diperlukan kecermatan dari para pencipta lagu atau karya seni lainnya. Ada baiknya mereka berkonsultasi lebih dahulu dengan orang-orang yang tahu. Lembaga pengawas yang ada di Departemen terkait pun tentu harus mengawasi dan membina secara maksimal.

Kurang tersentuh
Meski adanya koreksi terhadap lagu-lagu tertentu merupakan indikasi masih adanya kepekaan dan ghirah (kecemburuan) beragama, namun kita menyayangkan masih banyak karya seni, khususnya lagu-lagu, yang sepertinya sudah lepas dari agama. Lagu dangdut, pop, rock dan lainnya sudah teramat banyak yang tidak begitu mengandalkan syair dan irama musiknya, tapi lebih menonjolkan keberanian penyanyi dan penari latar dalam berbuka-buka (paha dan dada).
Kalau dulu, keindahan sebuah lagu, lebih ditekankan pada syair dan irama, maka kini daya tariknya justru pada fisik penyanyi. Makin berani buka-bukaan, termasuk dalam hal ini produk sinetron, serial komedi situasi dan sebangsanya.
Jika kita mau jujur, bait syair yang tak sesuai ajaran agama, hanya orang-orang tertentu yang mengetahui dan merasakannya. Tetapi lagu-lagu yang penyanyinya berani mengobral aurat, akan meracuni mental semua orang, semuanya tergoda. Dehumanisasi dan demoralisasi cepat atau lambat akan terjadi. Kehidupan akan berjalan semakin permisif.  Aurat wanita yang sangat sakral dan rahasia berubah jadi barang obralan yang diperjualbelikan. Mengapa ini tidak ditegur dan dilarang?
Alangkah baiknya jika anggota masyarakat, ulama, pemerintah, artis dan seniman mau memperhatikan hal ini. Meski ini soal klasik dan tak populer, tapi keengganan kita memperbaikinya bisa membahayakan generasi ke depan.

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: September 2012