Kamis, 18 Oktober 2012

Urang Banjar dan Ojek Hajar Aswad

Urang Banjar dan Ojek Hajar Aswad

Oleh:  Ahmad Barjie B

Kalau di Indonesia ada ojek sepeda motor, sepeda, jukung dan perahu (getek), lanting serta ojek payung, di Mekkah justru ada ojek Hajar Aswad, dan ini tentu satu-satunya di dunia.
Mereka ini menjual jasa berupa tenaga dan keahlian untuk mengawal, mendampingi dan menggiring para jamaah haji dan umrah untuk bisa mencium Hajar Aswad.  Jasa tersebut tentu bersifat komersial, dari yang relatif murah sampai tergolong mahal. Bahkan ada yang dikenai biaya sampai 400-500 riyal setiap kali berhasil mencium Hajar Aswad. Uang segitu tentu sangat besar, sebab sama nilainya Rp 1000.000,- lebih. Rata-rata Rp 1.000.000 senilai 400-410 riyal Saudi.
Bagi jamaah yang tidak tahu atau kurang waspada, bisa saja merasa tertekan dan tertipu, tetapi tidak kuasa melawan karena sudah terlanjur. Tak jarang para pengojek itu akan mengambil sendiri dan menguras isi dompet jamaah, dengan atau tanpa persetujuan pemiliknya. Premanisme tidak hanya ada di tanahair, tapi juga di tanahsuci.
Cara mereka, tak jauh beda dengan juru foto di lereng Jabal Rahmah sekitar Padang Arafah yang suka memaksa memoto dan minta dibayar sesuai keinginan mereka. Bedanya, juru foto di Jabal Rahmah kelihatannya  semuanya urang Arab, khususnya Arab badui (pedalaman) yang kehidupannya tidak semakmur Arab perkotaan.
Beberapa waktu lalu, running tex sejumlah televisi nasional memberitakan bahwa banyak dari tukang ojek (joki) Hajar Aswad tersebut yang ditangkap polisi Arab Saudi. Penangkapan tersebut sebenarnya sudah sekian kali dilakukan, tetapi praktik serupa selalu terulang.
Bagi kita, fenomena ini patut digarisbawahi. Pertama, tidak sedikit jamaah asal Banjar yang pernah menyewa pengojek Hajar Aswad tersebut, baik dengan bayaran wajar maupun setengah tertipu. Kedua, kebanyakan para tukang ojek itu justru orang Banjar sendiri. Mereka telah lama bermukim di Mekkah, baik legal maupun ilegal dan mungkin karena kesulitan mencari pekerjaan atau merasa menjadi pengojek Hajar Aswad penghasilannya lebh besar, akhirnya memilih menjalani profesi ini.
Hal itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi pekerjaan rutin setiap hari. Tidak pernah sunyinya jamaah umrah dah haji, menjadikan usaha ini terus digeluti. Sepanjang tidak ada kesadaran untuk menghentikannya dan selama tidak tertangkap petugas, mereka akan terus menikmatinya.

Sulitnya Medan

            Ketika saya bersama M Bushairie Ahmad melaksanakan ibadah umrah atas biaya Haji Achmad (Ketua Umum Badan Pengelola Masjid At-Taqwa) dan Haji Fauzian Noor (owner PT Riyal Tunggal Banjarmasin), bersama jamaah PT Riyal Tunggal pimpinan Ustadz Ahmad Rijani (Tanjung) dan Ustadz Ahmad Subki (Pelaihari) kami menginap di Hotel Retaj, yang berdampingan dengan Tower Zamzam dengan ikonnya jam raksasa.
            Kami sering mengamati dan melakukan obrolan dengan siapa saja. Satu kesempatan kami ngobrol dengan dua orang, satu asal Banjar dan satu dari Jawa, keduanya berdomisili di Arab Saudi secara illegal. Yang satu mengungkapkan pengalamannya bertahun-tahun sebagai pengojek Hajar Aswad,. Katanya, pekerjaan itu digeluti karena terdesak.  Mau berdagang kaki lima, risiko kena razia lebih besar, sebab nyaris tiap hari aparat melakukan razia. Polisi Arab Saudi mudah sekali mengenali mereka, baik dari tampangnya yang Indonesia, maupun wajah ragu, waspada dan ketakutan di tampilan mereka. Kalau sudah razia, mereka lebih menyelamatkan diri daripada barang-barang dagangannya. Barang-barang itu dibiarkan tertinggal dan berhamburan, kadang dipungut oleh jamaah lain secara gratis.
            Menjadi tukang ojek Hajar Aswad lebih aman, karena jamaah yang thawaf dan ingin mendekati Ka’bah dan mencium Hajar Aswad sangat berjubel, berdesak dan berhimpitan. Kalau kita amati, tak sedikit jamaah yang semula ingin mencium, memilih mundur, karena tak mau ambil risiko. Kondisi sulit inilah yang dimanfaatkan para pengojek, mereka lebih tahu caranya karena sudah menguasai medan.
Dalam kondisi demikian, petugas polisi yang ada setiap saat kesulitan untuk mengejar dan menangkap pengojek tersebut, meskipun tentunya mereka kenal karena tiap hari melihatnya. Di antara polisi itu mungkin juga ada yang kasihan dan berusaha memaklumi orang-orang mencari makan di situ. Apakah ada kolusi antara polisi dengan pengojek itu, saya lupa mencari tahu.
            Tetapi, karena sering dihantui rasa khawatir, akhirnya pengojek yang satu ini menghentikan kegiatannya, dan memilih menjadi PRT biasa, meski dengan gaji relatif sedikit dbanding pengojek Hajar Aswad. Kini ia sudah 15 tahun tinggal di Arab Saudi, namun tetap dengan status tenaga kerja ilegal, karena majikannya tak mempersoalkan statusnya itu.
Meski ada yang sadar, tetapi lebih banyak lagi yang tidak mau berhenti. Kebanyakan terus dengan praktik usahanya sebagai pengojek. Selama yang membutuhkan masih besar, selama itu pula mereka akan menjalaninya. Mereka sudah tahu siapa yang akan jadi sasaran. Orang Indonesia dan Banjar yang selama ini sangat menggandrungi Hajar Aswad tentu menjadi sasaran empuk.   

Daya Tarik

Hajar Aswad memang menjadi salah satu daya tarik jamaah mendekati Ka’bah.  Hajar Aswad terletak di sudut sisi tenggara Ka’bah, tingginya 1,5 meter dari permukaan tanah.  Meski namanya berarti batu hitam, tetapi ada nuansa warna putih, kuning dan kemerah-merahan. Ukuran lebarnya 28 cm, tinggi 38 cm, dengan bingkai (amban) yang terbuat dari perak.
Menurut Cyrill Glasse dalam The Concise Encyclopaedia of Islam, diriwayatkan bahwa Nabi Adam adalah orang pertama yang meletakkan Hajar Aswad di Ka’bah. Belakangan batu ini tersimpan di pegunungan Abul Qais Mekkah, dan ketika Nabi Ibrahim dan Ismail membangun kembali Ka’bah, Jibril memberitahu dan membantunya mengeluarkan Hajar Aswad dari gunung dan meletakkan kembali ke sisi Ka’bah.    
            Saat Nabi Muhammad di usianya 35 tahun bersama kaum Quraisy merenovasi Ka’bah pascabanjir dan meletakkan kembali Hajar Aswad di tempatnya, batu ini masih utuh. Tetapi tahun 64 H/683 M terjadi peperangan antara pasukan Bani Umaiyah dengan pasukan Abdullah bin Zubeir di Mekkah. Sebagian Ka’bah  terbakar terkena kobaran api pelontar (manjaniq) tentara. Hajar Aswad retak menjadi tiga bagian disertai sejumlah kepingan.
Tahun 317 H/930 M sekte Qaramithah/Qarmatians (yang merupakan bagian dari kelompok Syiah) menjarah Mekkah, mereka membawa Hajar Aswad ke Hasa-Bahrein. Mereka menawarkan sejumlah uang sebagai tebusannya. Tetapi atas bujukan sekte Fathimiyah (bagian yang lain dari kelompok Syiah), mereka mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula (Ka’bah) tahun 430 H/951 M, tanpa uang tebusan. Saat mengembalikan Hajar Aswad sudah retak menjadi tujuh bagian, dan mereka menuliskannya: “Kami mengambil atas perintah dan mengembalikannya atas perintah”. Perintah siapa, tidak diketahui pasti.  Tampaknya ada unsur politik dan propaganda dari pengambilan dan pengembalian Hajar Aswad tersebut.
Dari cerita di atas, tampak bahwa Hajar Aswad adalah batu khusus yang memang sudah sangat tua dan jadi rebutan. Tapi ia juga benda mati yang tidak terlepas dari gangguan dan keretakan akibat ulah manusia. Nabi Muhammad saw memang menciumnya. Para sahabat juga melakukannya, tetapi mereka tidak fanatik. Suatu ketika saat thawaf, Umar bin Khattab berkata: “Aku tahu, engkau adalah batu yang tidak dapat membawa manfaat dan mudarat, sekiranya aku tak melihat Nabi menciummu, aku tak akan menciummu”.
Kaum muslimin sekarang (jamaah haji dan umrah) mestinya tidak terlalu mengkultuskannya. Tak perlu memaksakan diri, berjejal, berhimpit, terinjak-injak apalagi sampai membayar mahal hanya untuk mencium Hajar Aswad. Bagi yang dapat melakukannya silakan, bagi yang tidak dapat cukup melihat dari jauh atau memberi isyarat. 
Para petugas haji dan umrah hendaknya selalu memberitahukan hal itu kepada jamaah bimbingannya. Dan bagi para pengojek (joki) Hajar Aswad, kalau mau menolong dengan upah juga silakan, tetapi sebaiknya alakadarnya saja, jangan sampai terkesan memeras. Mengambil kesempatan di tengah kesempitan.

Sekretaris Umum Yayasan & Badan Pengelola Masjid At-Taqwa Banjarmasin.
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Oktober 2012

Awan Wartawan Masih Mendung


Awan Wartawan Masih Mendung

Oleh: Ahmad Barjie B


            Hari-hari ini media cetak dan elektronik banyak memberitakan peristiwa jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 milik TNI-AU. Pesawat naas itu jatuh di desa Pasir Putih Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Untunglah pilot selamat setelah terjun menggunakan kursi pelontar.
Kecelakaan pesawat baik sipil maupun militer, meski tidak dikehendaki, sebenarnya merupakan hal biasa karena sering terjadi. Tetapi dalam kasus ini, yang memprihatinkan dan perlu disesalkan adalah terjadinya penganiayaan atau pemukulan terhadap para wartawan yang ingin meliput peristiwa.  
Jurnalis yang kena pukul oleh oknum TNI dari Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru-Riau adalah Didik Hermanto fotografer Riau Pos, Budi Anggoro wartawan Antara, Fakhri kameramen Riau TV, dan Muhammad Arifin kontributor TV One. Satu warga dan dua mahasiswa UIN Syarif Kasim Pekanbaru juga terkena pukulan.
Menyikapi kejadian ini Kepala Staf TNI-AU Marsekal Imam Sufaat sudah meminta maaf. Menurutnya, kecelakaan pesawat tempur sifatnya rahasia. Publik tidak diperbolehkan mendekat dan mengambil gambar, karena terkait kerahasiaan senjata yang mungkin dibawa pesawat.
Panglima Komando Operasi TNI-AU Marsekal Muda Bagus Puruhito menyatakan hal yang sama, dengan menekankan pesawat baru jatuh dilarang didekati karena ada kemungkinan meledak.
Kadispen TNI-AU Marsekal Muda Azman Yunus juga memintakan maaf. Ia memperkirakan kondisi psikologis personel TNI-AU di lapangan yang terkejut dan mengira pilot tewas bersamaan jatuhnya pesawat bisa jadi penyebab tindakan tersebut. Pihaknya berjanji akan menindak pelaku.
Menurut Menko Polhukkam Djoko Sujanto, apa pun penyebabnya, kekerasan seyogyanya dihindari.  Wajar jika wartawan di sejumlah kota melakukan demo sebagai solidaritas kepada rekan seprofesi.
 
Kemerdekaan Pers

Pada dasarnya kita menyambut baik adanya permintaan maaf dari para petinggi TNI AU, disertai rekonsiliasi dengan wartawan segera setelah peristiwa itu terjadi. Tetapi proses hukum terhadap oknum yang melakukan penganiayaan secara vulgar itu sebaiknya tetap ditegakkan, supaya jangan terulang di kemudian hari. Sebelumnya saat terjadi jatuhnya pesawat tempur di bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, kekerasan terhadap wartawan juga terjadi. Pengulangan hal serupa semakin menuntut perlunya penegakan hukum terhadap oknum yang bersalah.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kemerdekaan pers untuk mencari dan memberikan informasi kepada masyarakat, sebagai salah satu hak dan kewajibannya yang dilindungi undang-undang, belum terwujud secara baik. Padahal peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT PWI ke-58 Februari 2004 lalu sudah berusaha mengangkat tema “Kemerdekaan dan Profesionalisme Pers”.  
Tema ini berangkat dari fenomena  kebebasan pers seakan masih dibatasi melalui berbagai tekanan, yang tidak saja dapat menurunkan  kualitas informasi dan mengancam eksistensi perusahaan penerbitan pers,  bahkan sampai pada membahayakan fisik dan jiwa wartawan.  Di sisi lain wartawan semakin dituntut profesional mengingat tantangan kerja semakin berat dan daya kritis masyarakat juga meningkat.
            Memang wartawan tidak sunyi dari risiko. Di antaranya risiko kematian seperti dialami Sory Ersa Siregar dan Jamaluddin yang meliput konflik Aceh serta penyanderaan Ferry Santoro yang hampir setahun baru dibebaskan oleh GAM.  Tetapi risiko tersebut seharusnya bukan berupa penganiayaan. Untuk itu, semua pihak seharusnya melindungi keselamatan wartawan sebagai warga sipil. Hal ini sudah menjadi ketetapan Konvensi Jenewa dan Indonesia ikut meratifikasinya.

Daftar Panjang

            Penganiayaan terhadap wartawan memang bukan hal baru.  Sebelumnya juga ada kasus wartawan Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin, Naimullah koresponden Sinar Pagi di Pontianak, dan Muhammad Sayuti koresponden Pos Makassar. Diduga keras mereka mati secara tidak wajar, yang kasusnya masih gelap hingga hari ini.
            Bila kita tengok ke luar negeri,  wartawan tewas di medan perang juga tidak sedikit. Dalam perang Irak, tercatat l3 wartawan tewas di arena pertempuran dan 7 orang tewas karena sakit dan kecelakaan lalu lintas di luar medan tempur. Sejumlah wartawan TV Al-Jazeera juga menjadi korban keganasan pasukan koalisi. Setahun sebelumnya 20 orang wartawan tewas dan l36  orang wartawan dipenjarakan oleh berbagai rezim represif di dunia. Belum lagi dalam perang Irak terdahulu (l990), perang Irak – Iran (l980-88), Korea (l954), Vietnam (l975), Kamboja (l988),  Bosnia (l99l), dll. 
            Kita memaklumi adanya wartawan yang tewas di medan perang, karena itu termasuk risiko wartawan perang, meskipun seharusnya mereka dilindungi sebagaimana perlindungan terhadap petugas palang merah atau kesehatan. Yang kita sesalkan adalah penyanganiayaan secara sengaja, seperti banyak terjadi di Indonesia.
Di negeri ini meski angin reformasi menghasilkan kebebasan pers yang luar biasa, namun ancaman terhadap profesi  wartawan juga meningkat. Dalam periode  Mei 2002 – Mei 2003 saja, AJI mencatat sejumlah kekerasan terhadap para jurnalis: 33 kasus dilakukan oleh tentara, 5.6ll kasus oleh polisi, l6.622 kasus dilakukan masyarakat, ll.2l3 kasus oleh aparat pemerintah, 549 kasus oleh orang tidak dikenal, 2.9ll kasus oleh anggota dewan dan l23 kasus oleh partai politik .
            Agar diperoleh informasi akurat, tajam, terpercaya, mencerahkan, berguna untuk kemajuan, kebenaran dan keadilan, wartawan memang harus berani. Keberanian dan kegigihan wartawan sudah dicontohkan oleh para wartawan terdahulu, seperti Mochtar Lubis dan Bur Rasuanto yang pernah meliput perang Korea dan Vietnam yang ganas. Reputasi mereka tidak kalah dengan wartawan perang sekaliber Peter Arnett (eks wartawan CNN), Peter Barnett (Radio ABC Australia) dan Peter Arnelt (UPI). 

Saling Pengertian

            Melihat angka temuan AJI di atas, berarti  masyarakat, aparat pemerintah, kepolisian dan anggota dewan (DPR/D) merupakan pelaku terbesar kekerasan terhadap wartawan. Ini tentu saja sangat memprihatinkan dan seharusnya dihindari, sebab mengingat tugasnya wartawan memang sangat bersentuhan dengan masyarakat, pemerintah, kepolisian, dewan, dll. Tidak mungkin wartawan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan professional sebagai pemberi informasi obyektif, penyalur aspirasi dan kontrol sosial,  bila tidak berhubungan dengan para pihak di atas.
            Mengapa kekerasan itu terjadi di sebuah negara hukum? Boleh jadi karena kita tidak mau menaati hukum dan aturan yang ada, tertutup, terlalu menjaga citra, over depensive, sehingga cenderung merasa benar dan lalu main hakim sendiri. Karena itu kesadaran hukum ini harus lebih ditingkatkan, disertai komitmen untuk menjalankan tugas masing-masing secara fair, jujur, profesional, dengan tidak menutup-nutupi kesalahan dan tidak pula mencari-cari dan membesar-besarkan kesalahan yang sesungguhnya tidak ada.
            Peliputan berimbang pada hari yang sama, alokasi hak jawab pada kesempatan berikutnya mestilah digunakan, dan bila tidak, boleh pula ditempuh jalur hukum lewat pengadilan. Jadi bukan main kayu, pukul, perampasan kamera dan bahasa kekerasan lainnya. Memang mungkin saja ada wartawan yang suka mengompori, tidak imbang, tidak objektif, tidak netral, wartawan gadungan, suka memeras dan mencari uang tanpa jelas identitas dan induk kerjanya. Namun oknum begini tidak bisa digeneralisasi untuk semua wartawan profesional dan masih menjunjung etika profesi.

Menghargai Informasi

            Di era informasi kini, kebutuhan masyarakat terhadap informasi semakin meningkat. Karenanya dari manapun datangnya informasi tersebut harus kita hargai. Wartawan sesuai tugasnya memang bergelut di bidang informasi sebagai penggali, pengolah dan penyaji. 
Irwasda Polda Kalsel (2003) Komisaris Besar Polisi Drs. Sujitno menyatakan, dari mana pun datangnya berita, bagi polisi merupakan sebuah informasi. Nilai informasi tersebut bisa berkategori A l yang dianggap benar l00 persen dan bisa pula sampai F 6 yang kebenarannya 0 persen. Kalau kebenarannya masuk A l, kepolisian harus berterima kasih kepada wartawan, tapi kalau F 6, yang kebenarannya nihil, tidak usah dipakai, untuk itu harus dilakukan klarifikasi lewat media bersangkutan.
            Pada dasarnya kepolisian, pemerintah, anggota dewan dan wartawan punya tugas yang muaranya sama yakni menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan memberdayakan rakyat. Karena itu para pihak harus bekerjasama secara sinergis, yang satu saling membutuhkan dengan yang lain. Bila prinsip dan semangat ini dipahami, tentu kekerasan terhadap wartawan tidak akan terjadi. 
Semua pihak diharapkan mampu meningkatkan kerjasana dan saling pengertian, sehingga ke depan tidak terjadi tekanan terhadap pers dalam berbagai bentuknya atau penyelesaian di luar koridor hukum. Kalau ada pihak dirugikan, sebaiknya ditempuh jalur hukum sesuai  UU Pokok Pers.

Pengamat sosial kemasyarakatan, tinggal di Banjarmasin.


Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Oktober 2012