Sabtu, 15 Maret 2014

Caleg Bernuansa Syariah



Caleg Bernuansa Syariah

Oleh: Ahmad Barjie B

Sekretaris Umum Yayasan & Badan Pengelola Masjid at-Taqwa Banjarmasin

            Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini dikesankan sebagai organisasi radikal dan berjuang secara inkonstitusional, ternyata amat menguasai persoalan konstitusi. Dalam sebuah ceramah di Banjarmasin, seorang Ketua FPI Pusat yang merupakan lulusan Lemhannas, menegaskan bahwa perjuangan mereka menegakkan syariat dan antimaksiat selama ini justru sebagai bagian dari upaya mengamalkan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Terkait dengan Pemilu, FPI juga menganjurkan rakyat pemilih agar proaktif memilih, tidak golput.  Cuma FPI menganjurkan agar pemilih lebih memilih caleg yang memperjuangkan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu dibentuk Forum Caleg Syariah (FCS) yang jika terpilih akan memperjuangkan kehidupan yang lebih religius, yang diikat dengan Pakta Integritas: Menjadikan NKRI lebih bersyariah; Membuat UU dan Perda yang lebih sejalan dengan syariat; Mengamandemen atau merevisi UU dan Perda yang tidak sesuai; Antikorupsi, antimaksiat dan sebagainya.
            Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab menekankan siapa pun dan dari partai mana pun, apabila punya misi menegakkan syariat, para caleg tersebut patut didukung. Pihaknya menghimbau berbagai ormas Islam besar dan kecil mendukung hal tersebut, karena semakin banyak caleg terpilih makin baik.              

Payung Hukum
            Dijadikannya energi agama untuk mendukung kesuksesan Pemilu, memilih pemimpin nasional dan daerah dan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan hal positif. Hal itu jauh lebih baik ketimbang energi itu digunakan di luar koridor, misalnya melalui cara-cara kekerasan dan inkonstitusional.
            Umat Islam tidak boleh acuh tak acuh, masa bodoh apalagi pesimistik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Alm Hadratus Syekh Tadjul Arifin (Abah Anom) berpesan, bangsa ini telah diperjuangkan kemerdekaannya oleh darah dan nyawa banyak ulama, jadi generasi kemudian harus ikut menjaga, merawat dan memperbaikinya.
            Memperjuangkan syariat sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Di situ sudah ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kehidupan beragama serta hak tiap-tiap agama untuk mengamalkan dan mengembangkan agamanya. Hidup dalam negara pluralistik agama seperti Indonesia bukan berarti kita menihilkan agama ke titik nol dan hanya menjadikannya sebagai urusan pribadi. Justru agama tetap harus menjadi warna kehidupan, sehingga terwujud kehidupan yang sosialistik dan nasionalistik-religius.
            Dihilangkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentang kewajiban umat Islam menjalankan syariatnya, bukan berarti syariat itu ditinggalkan. Syariat tetap saja hidup dan menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dr KH Ideham Chalid, salah seorang saksi sejarah menegaskan bahwa ketika Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang kembalinya NKRI kepada UUD 1945 setelah Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 tidak berhasil menjalankan tugasnya, Bung Karno juga menegaskan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.
            Dengan adanya penegasan itu maka Masyumi dan NU yang saat itu menjadi parpol beserta berbagai ormas dan kekuatan umat Islam bersedia menerima Dekrit Presiden. Seandainya isi Piagam Jakarta tidak dijadikan sebagai jiwa UUD 1945, boleh jadi Dekrit itu pun akan ditolak. Kekuatan umat kala itu besar, buktinya mereka sanggup menolak diangkatnya menteri kabinet dari Partai Komunis Indonsia (PKI) walaupun saat itu PKI juga beroleh suara signifikan.

Penting dan Strategis
            Duduknya para wakil rakyat yang mau dan mampu memperjuangkan syariat sangat penting, sebab banyak masalah kehidupan bangsa saat ini yang tidak sejalan dengan syariat. Pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai asing dan swasta nasional dan belum diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, layanan pendidikan dan kesehatan yang masih mahal, eksploitasi pekerja, perdagangan manusia, maraknya korupsi, prostitusi, miras, narkoba dan berbagai kemaksiatan adalah beberapa contoh fenomena kehidupan yang bertentangan dengan syariat.
            Memperjuangkan semua itu sulit dengan hanya mengandalkan dakwah. Biar berbusa-busa ulama berdakwah tidak akan ngaruh. Dan kekuatan masyarakat pun tak akan efektif. Bahkan rentan menimbulkan anarkisme, main hakim sendiri dan benturan horisontal. Justru dalam hal ini diperlukan kehadiran pemerintah dan daerah, berupa adanya aturan dan sanksi yang tegas, serta aparat eksekusi di lapangan.
            Contoh kecil di Kota Banjarmasin terdapat banyak tempat hiburan malam (THM) yang bernuansa maksiat, dan beroperasi tidak jauh dari masjid, mushalla, sekolah, perkantoran dan pemukiman penduduk. Aneh dan miris melihat jamaah masjid pulang shalat dan pengajian sudah berbauran dengan penikmat THM. Terjadi penurunan moralitas di kalangan masyarakat, termasuk generasi muda. Para orang tua semakin tidak berdaya. Terjadi pemborosan uang yang seharusnya digunakan untuk hal-hal produktif.
            Beberapa Ormas sudah mencoba menempuh perjuangan secara damai dan prosedural melalui gugatan Class Action (CA). Melalui Putusan Sela Pengadilan Negeri Banjarmasin gugatan dikabulkan, tapi hasil akhirnya tetap saja gagal. Pelaku usaha hiburan malam tetap merasa usahanya legal karena memiliki izin dan ada Perda yang menjadi payung hukumnya. Artinya, jika ingin menggugat, harus juga dengan menggugat Perdanya yang telah dikeluarkan oleh kepala daerah dan DPRD.
            Tampak bahwa perjuangan ekstraparlemen sangat melelahkan, panjang dan seperti membuang waktu dan energi. Sekiranya kepala daerah dan DPRD punya misi syariat tentu masalahnya tidak serumit itu.
            Kita berharap, kepala daerah dan DPRD ke depan seyogyanya memiliki komitmen untuk menegakkan syariat, minimal dalam lingkup wilayah masing-masing. Hal ini harus dimulai dan dipersiapkan dari sekarang.
            Even pemilu adalah sarana mempersiapkan kepala daerah dan wakil rakyat. Kepala daerah bisa berasal dari kalangan DPRD, dan DPRD bersama kepala daerah memiliki kewenangan besar, termasuk membuat, melaksanakan dan mengawasi Perda.
             Sayang sekali hari h pemilunya sudah makin dekat, tetapi misi kampanye yang bernuansa syariat masih belum terdengar. Hangar bingar Pemilu saat ini justru pada hal-hal teknis seperti pelanggaran aturan serta aroma politik uang yang makin terasa. Padahal itu hanya masalah kulit dan temporal.
            Lebih substansial dari segalanya justru kita harus memastikan dan meminta para wakil rakyat benar-benar berjuang untuk rakyatnya. Menegakkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan dalam arti sebenarnya.
           

      

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Maret 2014

Banjarku Banjarmu Jua



Banjarku Banjarmu Jua

Oleh: Ahmad Barjie B

            Ketika kita memasuki Kota Banjarmasin lewar darat, di kiri kanan pintu gerbang kota Jalan Jenderal Ahmad Yani km 6 tertera tulisan: ”Kami Himung Pian Datangan Sabarataan”.
            Meskipun tulisan ini berbahasa Banjar, tentu tidak semata ditujukan kepada para pendatang Banjar yang berasal dari Hulu Sungai. Tetapi mencakup di dalamnya semua pendatang, termasuk yang masuk Banjarmasin melalui laut dan pelabuhan Trisakti.
            Ungkapan yang lebih tepat ditulis pada acara undangan perkawinan dan sejenisnya tersebut mengesankan Banjarmasin siap menampung semua orang. Sebab “sabarataan” dalam bahasa Banjar berarti semuanya.
            Hal ini tentu agak ironis dan aneh, mengingat Banjarmasin sesungguhnya memiliki wilayah yang relatif kecil. Luasnya hanya sekitar 72 km persegi. Penduduknya tidak sampai satu juta jiwa, tetapi karena kecil, maka penduduk, jalanan dan bangunan terasa sudah sesak
            Ucapan selamat datang ini menunjukkan betapa welcome-nya daerah dan masyarakat Banjar, terutama yang ada di Kota Banjarmasin terhadap pendatang, dari mana, suku dan agama apa saja. Betapa orang Banjar sangat inklusif, bukan eksklusif dan protektif,
            Keterbukaan begini tentu juga dianut oleh sebagian daerah lain, karena hampir di semua kota besar dan kecil di Indonesia ini ada ucapan selamat datang demikian. Cuma di sebagian daerah ada nuansa ketidaktulusan menerima pendatang.
            Ibukota Jakarta misalnya, meskipun ada tugu Selamat Datang, tetapi di kota ini juga sejak lama beredar lagu “Siapa Suruh Datang Jakarta”. Setiap saat, terlebih menjelang mudik Lebaran, Pemprov DKI selalu berpesan agar warga DKI yang mudik tidak membawa serta anggota keluarganya ketika kembali ke Jakarta.

Sarat Problem
            Ada atau tidak ada ucapan selamat datang, orang pasti akan mendatangi suatu kota dan daerah untuk mengadu nasib dan memperbaiki taraf hidup. Terlebih bagi kota Banjarmasin dan Kalsel pada umumnya yang akhir-akhir ini mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, mungkin karena adanya pertambangan dan perkebunan, serta stabilitas keamanan yang kondusif.
            Boleh jadi juga posisinya yang strategis dalam segitiga emas bersama Kalimantan Tengah dan Timur. Kalau di beberapa kota dan daerah kita agak kesulitan mencari mobil mewah, maka di Banjarmasin dan Kalsel begitu banyak. Orang Banjar terkenal memiliki selera Belanja dan gengsi tinggi. Jika di banyak daerah kita kesulitan mencari penjual pulsa telpon, di Banjarmasin justru begitu mudah. Bagi orang Banjar bayi dan anak ingusan saja sudah pegang hape.              
            Keterbukaan kota Banjarmasin tentu membawa banyak konsekuensi, baik pada ranah kehidupan sosial ekonomi, agama dan budaya. Investor makin banyak, pembangunan perumahan, pusat belanja, perhotelan dan sebagainya seolah tak pernah berhenti. Peluang usaha terbuka tetapi juga disertai persaingan semakin tinggi.
            Perlahan tapi pasti pasar-pasar tradisional dan usaha-usaha kecil akan makin terdesak dan kalah bersaing oleh usaha-usaha besar. Adanya usaha yang menggunakan bahasa yang bernuansa primordialisme, misalnya “ampun urang banua jua, ampun orang Banjar jua, asli Banjar” dan sejenisnya menunjukkan pemiliknya ingin agar orang Banjar lebih memprioritaskan berbelanja ke pasar, toko atau pusat belanja milik orang banua.
            Cara begini diperkirakan tidak akan manjur, sebab orang Banjar yang memiliki selera belanja tinggi, ternyata tidak fanatik dalam berbelanja. Siapa pun pedagangnya asalkan murah dan berkualitas, apalagi dengan pelayanan yang baik sebelum dan purnajual, ke sanalah mereka akan terus berbelanja. Biar sama-sama orang banua, jika merasa kecewa dan dirugikan, mereka akan jera seumur hidup.

Menjunjung Langit
Kita salut banyak warga Banjar yang walaupun bukan Banjar asli, tetapi sudah menyatu dan memiliki kecintaan yang besar terhadap banua Banjar. Bahkan lebih separoh atau seumur hidupnya sudah diabdikan terhadap Banjar. Kepada mereka ini tentu harus diberikan hak-haknya secara wajar dan adil, baik dalam usaha maupun karier. Tidak fair jika mereka tereliminasi hanya karena tidak lahir di sini.
Tetapi bagi pendatang baru, tetap perlu lebih adaptif. Meskipun Banjarmasin dan Banjar umumnya begitu terbuka, kita tetap berharap agar pendatang bisa menjunjung langit. Pada ranah agama dan budaya dengan menghargai nilai-nilai religiusitas masyarakat. Maraknya tempat-tempat hiburan malam dalam beberapa tahun terakhir, dengan konsumen utamanya orang Banjar sendiri, bukan orang asing, diperkirakan dikelola oleh pengusaha non Banjar. Hal-hal begini semestinya tidak dilakukan, sebab meresahkan para orang tua, melukai perasaan kaum ulama dan agamawan Banjar.
Pada ranah ekonomi, sekiranya suatu sektor usaha kecil sudah ada pelakunya, sebaiknya pedagang besar dan konglomerat tidak mematikannya dengan menghadirkan usaha-usaha besar yang menyedot masyarakat. Hal ini penting diingatkan kembali, sebab jika dibiarkan dapat menimbulkan kesenjangan dan konflik sosial. Peristiwa Jumat Kelabu 23 Mei 1996 silam dengan segala korban jiwa, harta benda dan pusat belanja, selain dipicu masalah politik, juga karena kesenjangan sosial dan persaingan tidak sehat.
Pada ranah lingkungan hidup pedagang dan pengusaha pendatang hendaknya turut bertanggung jawab memelihara dan melestarikannya.  Para pengusaha rumah makan, kios makanan dan rombong yang berjejer di tepi jalan besar dan kecil hendaknya tidak membuang sampah dan limbahnya sembarangan sehingga merusak keindahan, mengotori lingkungan dan sungai. Aturan dan upaya penertiba dari Satpol PP hendaknya ditaati untuk kenyamanan bersama.
Walikota Banjarmasin 2003-2005 Drs H Midpai Yabani MM bersama jajaran Pemko Banjarmasin pernah kecewa kepada beberapa pemilik ruko, toko dan pedagang yang tidak memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan sekitar. Mereka acuh tak acuh dan hanya menonton ketika aparat pemerintah bekerja. Midpai pun kesal: “Jangan hanya berusaha dan mencari hidup di Banjarmasin, tapi tak mau memelihara kebersihan, kelestarian dan keselamatan lingkungan”, semprot walikota.
Dalam skup besar, masyarakat Banjar di Kalsel sekarang juga sedang gelisah oleh tingginya tingkat kerusakan alam disebabkan pertambangan, baik yang legal maupun ilegal. Sementara rakyat banyak belum menikmati hasilnya kecuali segelintir saja. Reklamasi yang sudah dilakukan konon baru 2 %.
Kalau angka ini benar, berarti banyak pengusaha yang hanya mencari kekayaan di banua Banjar tanpa menghiraukan kerusakan yang rentan mendatangkan bahaya lingkungan hidup. Ketika banjir dan bencana alam tiba, mereka tinggal angkat kaki dan koper. Sementara rakyat mau lari ke mana.
Kita ingin banua Banjar dijadikan sebagai rumah bersama semua orang. Banjar asli atau pendatang, semua menjaga dan membangun Banjar dengan tanggung jawab dan rasa memiliki yang tinggi.  Banjar ini Banjar kita juga.

                                                                       
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Maret 2014

Tentang Profesor Rhoma Irama



Tentang Profesor Rhoma Irama

Oleh: Ahmad Barjie B

        Keperluan apakah biasanya orang cenderung menyebutkan gelar akademik atau kesarjanaannya?. Kalau  dijawab ketika menulis di koran atau buku jelas salah, sebab banyak penulis tidak mau menyantumkan gelar akademiknya, kecuali yang baru memperoleh gelarnya. Bahkan salah satu ketentuan penulisan ilmiah; makalah, skripsi, tesis dan disertasi, gelar akademik penulis buku tidak perlu dicantumkan.
            Kalau jawabannya ketika membuat kartu undangan perkawinan, jawabannya bisa ya dan tidak. Memang sering terjadi pasangan menyebutkan titelnya jika mempelai pria dan wanita sama-sama punya titel. Sering pula keluarga yang turut mengundang disebut semuanya lengkap dengan titelnya yang berjejer. Tetapi tidak sedikit orang dalam mengundang juga enggan menyertakan gelarnya, mungkin bagian dari sikap tawadlu, rendah hati,
            Apalagi ketika  upacara kematian, si mati jelas tidak akan mencantumkan gelarnya, sebab setinggi dan sepanjang apa pun gelar kesarjanaannya, tidak lagi berguna. Yang mencantumkan paling keluarga atau pihak lain yang bersimpati.
            Kondisi dan keperluan di mana orang-orang hampir pasti menyebutkan gelar akademiknya adalah ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif dan/atau kepala daerah. Dalam kondisi begitu nyaris tidak ada orang yang menyembunyikan titelnya.
            Apakah gelarnya diperoleh melalui kuliah reguler, eksekutif, bahkan tak mustahil cara instan, semua ditampakkan. Hal ini terlihat dari spanduk, baliho, kartu nama dan sebagainya menjelang Pemilu ini, hampir selalu ada gelar yang menyertai. Kalau di zaman dulu orang meyakinkan masyarakat pemilih dengan pengabdiannya, kini kalau bisa lewat gelar dan tampilannya.

Profesor Rhoma
            Begitu juga halnya dengan Rhoma Irama. Selama ini nyaris tak ada orang, termasuk dangdut mania sekalipun, yang tahu bahwa Raja Dangdut ini diberi gelar Profesor. Ternyata di musim Pemilu dan menjelang Pilpres ini muncul nama Profesor Rhoma Irama.
            Di salah satu kawasan Jakarta Selatan, dan mungkin ada juga di tempat lain, terpampang baliho bertuliskan “Profesor Rhoma Irama, Presiden Kita Bersama”.  Baliho tersebut tentu dipasang oleh Tim Sukses Rhoma, yang sejak beberapa bulan terakhir membentuk posko Rhoma Irama for Republic Indonesia (Rifori). Bagi penggemar dan pengagumnya, Rhoma digadang menjadi salah satu kandidat Calon Presiden PKB, di samping Jusuf Kalla dan Mahfud MD.
            Kontan saja masalah ini menjadi kontroversi. Banyak pihak mengecam, mempertanyakan dan tak sedikit yang mendukung dan menganggap biasa. Kementerian Pendidikan Nasional sebagaimana dikatakan oleh Mendiknas M Nuh, mengaku tidak tahu kalau selama ini Rhoma diberi gelar profesor. Menurutnya seharusnya gelar itu diuji dan disetarakan dulu di Indonesia. Jika memenuhi syarat barulah diakui.
            Selama ini untuk memperoleh gelar profesor (guru besar), memang melalui prosedur yang lama dan panjang. Selain melalui kuliah reguler, juga yang bersangkutan memiliki karya ilmiah, pengabdian, mengajar, penelitian dan sebagainya.
           
            Rhoma sendiri dalam sebuah wawancara televisi mengatakan, gelar profesor itu sudah lama diberikan oleh American University of Hawaii, tepatnya Januari 2005. Tanpa diminta, dan tidak membayar sepeser pun, kala itu ada tiga profesor yang mendatanginya saat di Taman Mini, lalu memberikan gelar tersebut. Spesifikasi gelarnya adalah Professor in Music.
            Alasannya karena Rhoma telah mengabdi dan berkaya lama sekali dalam bidang musik, karyanya diakui dunia dan memberi banyak pencerahan. Karena di bidang musik, maka Rhoma merasa gelar yang diberikan padanya hal yang wajar saja sebagai apresiasi. Meski sudah lama, namun Rhoma sendiri tidak pernah memublikasikan, memakai dan menggunakan gelar itu untuk keperluan apa pun. Baru jelang Pilpres ini ada tim sukses yang memasangnya.       
            Bagi Ki Joko Bodo, gelar yang diberikan pihak luar kepada Rhoma dianggapnya wajar, setelah melihat pengabdian, reputasi, kapasitas dan polularitas Rhoma sebagai penyanyi dangdut. Seharusnya, menurut Ki Joko, yang memberi gelar itu adalah universitas  dalam negeri, bukan pihak luar.

Sebatas Penghormatan
            Gelar profesor yang disandang Rhoma sebaiknya dianggap sebagai dan sebatas penghargaan saja. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan dunia perguruan tinggi, karena memang tidak berkaitan. Tidak perlu pula dipandang dari perspektif UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
            Di sini memang diatur, yang namanya profesor (guru besar) adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi, dengan golongan pangkat tertentu, waktu yang lama disertai karya ilmiah/buku, penelitian, atau pengabdian pada masyarakat. Kalau parameternya UU maka penyandang gelar yang tidak sah dapat dikenai sanksi pidana kurungan 6 tahun dan/atau denda Rp 500 juta.
            Masalah gelar selama ini memang masih kontroversial, mulai dari orangnya hingga perguruan tinggi (PT) yang memberinya. Dulu Prof Dr Buya Hamka diberi gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas al-Azhar Mesir dan gelar Profesor oleh Universitas Moestofo Beragama Jakarta, orang tidak ribut. Itu karena baik Hamkanya maupun universitas pemberinya dikenal.
            Giliran Rhoma yang diberi gelar serupa orang ribut. Ini mungkin karena lembaga pemberinya, yang konon tidak terakreditasi, tidak dikenal. Terkait dengan Rhoma sendiri, kalau digelari Professor in Music tentu wajar saja, sebab reputasinya di bidang ini diakui luas dan tak tertandingi. Namun sebaiknya gelar itu jangan profesor, cukup misalnya King of the King dan sejenisnya seperti disandang King of Pop mendiang Michael Jackson.
            Tetapi di Indonesia tak cuma itu persoalannya. Ada orang yang lama dan lelah kuliah di sebuah PT Islam Timur Tengah, tapi gelarnya tidak diakui, sementara temannya yang lain di PT yang sama tidak dipersoalkan memakai gelarnya. Jadi mana yang benar, apakah hebat kita dalam negeri atau luar negeri.
            Daripada terbelit kontroversi, sebaiknya menjauhi hal-hal kontroversial. Meski elektabiltasnya menurut survei turun naik, Rhoma merupakan kandidat Capres paling populer. Bocah ingusan hingga kakek sepuh kenal dengannya. Biasanya di negeri ini popularitas berbanding lurus dengan elektabilitas. Asalkan popularitas itu murni alami, tidak dipaksakan sementara sang pemimpin belum teruji berhasil memimpin.
            Tim sukses Rhoma sebaiknya menggunakan kapasitas Rhoma sebagai pedangdut, ulama, dan tokoh publik saja. Karena di ranah itu pun penggemarnya sangat banyak dan potensial. Tak perlu diberi embel profesor segala, karena bisa kontraproduktif. Di tengah persaingan ketat, hal-hal begini bisa jadi pintu masuk orang saling menjatuhkan.


           

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Maret 2014