Jumat, 15 Agustus 2014

In Memoriam KH Tahsyamani Baderun BA

In Memoriam KH Tahsyamani Baderun BA

Lebih Setengah Abad Bergelut
di Dunia Dakwah

Oleh: Ahmad Barjie B

            Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 2 April 2014 M / 2 Jumadil Akhir 1435 H masyarakat di Kota Banjarmasin dan sekitarnya kehilangan salah seorang ulama dan dai yang cukup terkenal, yaitu KH Tahsyamani Baderun. Karena di hari itu Rabu,  sekitar pukul 10.45 beliau dipanggil ke hadirat Allah swt, setelah dalam tahun-tahun terakhir ini sering keluar masuk rumah sakit, rawat inap dan rawat jalan.
            Begitu mendengar ulama kelahiran Banjarmasin 73 tahun lalu itu meninggal, banyak kalangan berdatangan ke rumah duka, baik dari kalangan ulama dan ustadz, tokoh dan warga masyawakat, juga murid-murid beliau. Mereka mendoakan, ikut menshalatkan dan mengantarkan ke kubur.
            Namun banyak pula kalangan yang tidak tahu atau terlambat  tahu. Oleh karena itu penulis memandang perlu menurunkan tulisan ini, sebagai upaya untuk mengenang sekaligus mengambil pelajaran dari kehidupan beliau yang sarat dengan perjuangan dakwah.
            Datuk Tombak Alam menyatakan, hal-hal yang sering dialami dunia dakwah adalah, pertama adanya yang meninggal, kedua ada yang meninggalkan dan ketiga ada yang ditinggalkan. Ulama dan juru dakwah yang meninggal, yaitu wafat atau meninggal duna, sebagaimana dialami oleh KH Tahsyamani Baderun.
            Meninggalkan, artinya banyak orang yang mampu dan tahu ilmu agama, tetapi enggan menjadi juru dakwah sebab memilih profesi lain yang lebih menjanjikan di segi materi. Ditinggalkan, artinya dakwahnya sudah ketinggalan zaman atau juru dakwahnya tidak konsisten menjalankan ajaran agama yang disampaikannya, sehingga masyarakat menjauhinya.

Berdakwah sejak muda       
            Menurut Ustadz M Rahimi HT salah seorang putra almarhum yang menyusun buku Biografi (Manaqib) ayahnya, Guru Tahsyamani, atau biasa pula dipanggil Guru Tatah,  lahir di Kampung Parodan Sungai Jingah Ulu Banjarmasin pada 11 Februari 1941. Ayah beliau bernama KH Baderun bin Sulaiman, juga seorang ulama dan masih zuriyat dari ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
            KH Baderun salah seorang murid dari Tuan Guru Syekh H Jamaluddin Arsyad yang sering dijuluki dengan Tuan Guru Surgi Mufti yang makam/kubahnya ada di Surgi Mufti dan hingga kini masih sering diziarahi orang.  
            Semasa kecil Tahsyamani selain beroleh pendidikan agama dari lingkungan keluarga, juga menempuh pendidikan dasar. Mulanya sekolah SR di Simpang Sungai Bilu (sekarang SDN Melayu 6), kemudian melanjutkan ke SMIP 1946 yang didirikan oleh KH Muhammad Hanafi Gobet, yang berlokasi di Jalan Masjid Jami Kelurahan Surgi Mufti sekarang.
            Beberapa teman seangkatan beliau di sekolah ini seperti KH Ibrahim Nadjam, Drs. H Abdurrahim Yasin Lc. Di antara teman-teman senior adalah Drs. H Bakhtiar Effendi, Drs. HM Asy;ari MA dan Prof Dr H Alfani Daud (keduanya mantan Rektor IAIN Antasari). Kebanyakan teman seangkatan dan senior beliau juga sudah almarhum.
            Selanjutnya Tahsyamani menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (yang kemudian menjadi PGAN Mulawarman). Selanjutnya kuliah di Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin dan berhasil mencapai gelar Sarjana Muda (Bachelor of Art/BA).
            Bersamaan dengan kegiatan menuntut ilmu, KH Tahsyamani menjadi guru PNS. Mulanya mengajar di Madrasah Taman Pemuda Islam di Jl Keramat Banjarmasin, sebuah madrasah yang sudah berdiri sejak zaman Belanda 1927,  dan diberi nama Syubban School. Pada masa kemerdekaan madrasah ini berubah nama menjadi Raudhatus Syubbanil Muslimin atau Taman Pemuda Islam.
            Beliau diangkat menjadi PNS oleh Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin sejak.1962 dan pensiun tahun 1996 dalam usia 55 tahun. Kebiasaan sebagian PNS kala itu, kalau pensiun akan digantikan oleh anak-anaknya, namun beliau menolak. Almarhum menyuruh anak-anaknya berwiraswasta saja,  atau kalau menjadi PNS harus berusaha sendiri, tidak meneruskan pensiunnya orang tua.
            H Tahsyamani menjadikan dakwah sebagai dunianya dan bagian hidupnya. Karena itu beliau berdakwah sejak usia masih sangat muda. Hingga meninggalnya tidak kurang dari 54 tahun beliau menggeluti dunia dakwah dengan segala suka dukanya.
            Berdasarkan catatan  ada seratusan masjid yang pernah beliau berikan khutbah Jumat secara rutin serta khutbah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Beliau juga mengasuh majelis taklim sampai 20-an tempat, baik di masjid-masjid, maupun langgar/mushalla. Tersebar di Kecamatan Banjarmasin Barat, Timur, Tengah, Utara dan Selatan dan sekitarnya.
            Beliau sangat sering dimintakan untuk berceramah agama oleh masyarakat dalam berbagai acara, seperti peringatan hari-hari besar Islam, aqiqah/tasimiyah, pernikahan, dan kegiatan keagamaan lainnya. Dalam berceramah beliau sering mendatangi permintaan masyarakat sampai ke pedalaman, baik di Kalsel maupun Kalteng. Tidak jarang beliau sakit karena kelelahan berdakwah, bahkan pernah juga terjatuh dari kendaraan karena sulitnya medan yang ditempuh. Prinsip beliau: “Aku tidak akan mau berhenti berdakwah sampai aku tua renta sekalipun kecuali bila umurku sudah habis atau aku meninggal dunia”.
            Salah satu kelebihan gaya dakwah Tahsyamani, suara beliau jelas, terang, nyaring, tegas, dan berani, namun juga disertai dengan humor-humor, sehingga terasa segar dan tidak membosankan bagi pendengar. Sekali orang mengundang, biasanya akan memintanya lagi. Saat berceramah beliau sering memakai kacamata hitam. Beliau juga tidak pamrih dalam berdakwah. Semua dijalankan dengan tulus sebagai kewajiban agama.
            Sewaktu H Tahsyamani masih sehat walfiat, Masjid at-Taqwa Banjarmasin di mana penulis menjadi salah seorang pengurus, sering sekali meminta beliau baik untuk berkhutbah Jumat dan Hari Raya, juga ceramah/kuliah Subuh di bulan Ramadhan. Kalau sudah Guru Tahsyamani yang memberikan kuliah, jamaah biasanya lebih banyak, dan mereka tidak akan beranjak sebelum ceramah selesai karena merasa rame sekaligus beroleh ilmu dan pelajaran berharga.
            Berrsamaan dengan keaktifannya berdakwah beliau juga memiliki keahlian di bidang Alquran, karenanya sering dimintakan menjadi hakim MTQ dan sejenisnya. Juga  keahlian dalam membimbing ibadah haji dan umrah, sehingga sering ditugaskan untuk memberikan bimbingan kepada jamaah, baik oleh pemrintah maupun swasta.

Amalan dan sifat utama
            Meskipun memiliki volume dakwah yang padat dan jam terbang yang tinggi, Tahsyamani tidak melupakan amalan-amalan sunat yang bersifat pribadi. Di antara amalan beliau adalah shalat tarawih, tahajud dan witir di bulan Ramadhan, shalat Dhuha terutama di pagi Jumat, shalat sunat rawatib,  shalat taubat, tasbih dan hajat di malam hari terutama setelah shalat Maghrib, dan shalat sunat lainnya. Juga rajin membeca Alquran setelah selesai shalat fardlu, senang melaksanakan puasa sunat, senang bersederkah dan berinfak.
            Beliau seorang yang taat kepada kedua orang tua dan menyayangi anak-anaknya, rajin menuntut ilmu sejak muda hingga tuanya, suka berslaturahim dan menghadiri undangan perkawinan di mana saja. Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah, selalu optimis dan pantangan menyerah dalam memperjuangkan dakwah.
            Kini KH Tahsyamani baderun telah tiada. Kita harapkan penerus dakwah terus bermunculan, baik dari lingkungan keluarga, murid dan masyarakat pada ummnya. Patah akan tumbuh lagi dan hilang tetap berganti. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Penulis buku “Mengenang Ulama dan Tokoh Banjar”, dukungan Kesultanan Banjar.    
  
Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Agustus 2014

Tradisi Konflik Parpol Islam

Tradisi Konflik Parpol Islam
Oleh: Ahmad Barjie B

            Beberapa waktu lalu publik menyaksikan konflik internal PPP, partai berasas Islam dan mengklaim sebagai Rumah Besar Umat Islam. Di saat persatuan dan koalisi semakin dibutuhkan, PPP mempertontonkan sebaliknya.
            Meski sudah diselesaikan lewat islah, konflik tsb patut disesalkan. Dikhawatirkan konflik akan tetap terjadi, dengan akibat goyahnya pundasi rumah besar dan tumbuhnya apatisme masyarakat terhadap partai Islam.         
            Isu terakhir, massa Rhoma Irama bakal menarik dukungannya kepada PKB, karena PKB tidak kunjung menjadikan Rhoma sebagai capres ataupun cawapres. Bahkan PKB cenderung berkoalisi dengan partai dan capres lain.
            Pendukung Rhoma yakin kemenangan PKB karena Rhoma Effect, dan mereka sudah berkeringat. Jika masalah ini tidak dimanage dengan baik, tak mustahil PKB juga akan tertimpa keretakan, minimal ditinggalkan simpatisan yang kecewa.
Mengulang Sejarah
            Konflik parpol satu sisi mengejutkan karena terlalu prematur. Tetapi jika ditengok sejarah, konflik bukan baru bahkan cenderung menjadi tradisi, stereotip dan penyakit kambuhan.
            Pascamerdeka, Presiden Soekarno dan Wapres Bung Hatta mengeluarkan Maklumat X, isinya mendorong lahirnya partai-partai politik sebagai saluran legal ideologi politik dan corak budaya bangsa Indonesia yang majemuk. Lahirlah PNI mewakili kalangan nasionalis, Masyumi mewakili umat Islam, Parkindo mewakili umat Kristen dan Katolik, PKI mewakil i penganut komunisme  dsb.
            Awalnya NU belum menjadi partai politik dan hanya menyandarkan aspirasinya melalui Masyumi. Ulama NU umumnya duduk di lembaga Syuriah (Penasihat), sedangkan pelaksana harian diduduki kalangan non NU. Belakangan NU terpaksa memilih berdiri sendiri sebagai partai politik, karena banyak aspirasi sulit disalurkan kalau hanya bersandar pada Masyumi. Kala bercerai dengan Masyumi, NU sempat dituding pemecah belah umat Islam.
            Kedua parpol Islam dan berbasis massa umat Islam ini, berbeda terkait kebijakan dalam maupun luar negeri. Masyumi menghendaki Indonesia menjadi Negara Islam dengan hukum-hukum Islam berlaku secara eksplisit, sementara NU lebih realistik dan merasa cukup dengan Negara Religius-Nasionalis di mana ajaran Islam berlaku secara implisit. Pendirian NU ini didukung kalangan nasionalis.
            Masyumi memilih ikut Mutual Security Act (MSA), pertahanan dan keamanan Indonesia berada dalam jaminan dan pengawasan AS dan Inggris. Keuntungannya Indonesia akan beroleh bantuan Barat yang sangat dibutuhkan karena Indonesia ingin membangun ekonomi pascamerdeka. Sebaliknya, PKI ingin Indonesia berkiblat ke Uni Soviet dan RRC, dua negara yang juga bersedia membantu, namun disertai penetrasi ideologi.
            NU menolak kedua pihak. Yang pertama konsekuensinya Indonesia akan menjadi Blok Barat, berada di bawah pengaruh negara besar dan kehilangan kedaulatan sebagai negara merdeka.  Ikut yang kedua, Indonesia akan menjadi Negara Komunis, ini juga berbahaya dan rentan resistensi dengan umat Islam.
            Ulama NU dikecam dengan sindiran tradisional-konservatif. ”Ulama yang kerjanya hanya membaca kitab kuning dan mengurus pengajian mana tahu masalah politik dalam dan luar negeri dan pembangunan ekonomi”. Tetapi ulama dan partai NU yakin dengan pendiriannya. Bagi NU Indonesia harus menjadi negara mandiri, ”la gharbiyyah wa la syarqiyyah” (bukan barat bukan timur).
            Ternyata pendirian NU didukung pemerintah dan partai nasionalis. Melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 1955 dipimpin PM Ali Sastroamijoyo dari PNI, yang oleh rival PNI + NU disebut Konferensi Apa-Apaan, yang sukses dan dilanjutkan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 dipimpin Waperdam II Ideham Chalid dari NU, Indonesia meneguhkan dirinya sebagai Negara Non Blok. Peran sebagai penggagas, pendiri dan anggota Negara-negara Non Blok yang dominan menjadikan Indonesia di masa Bung Karno dan Pak Harto disegani dan dihormati dalam pergaulan internasional.
            Partai NU juga dikecam ketika mendukung pemerintah. Bersama Menteri Agama KH Masykur, ulama Muhammadiyah dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dilakukan pertemuan Cipanas 1954. Isinya, organisasi besar ini mengakui pemerintah Presiden Soekarno dan lembaga-lembaga tinggi negara sebagai penguasa yang sah dan memiliki kekuasaan waliyyul amr ad-daruri bis-syaukah.
            Menurut Ideham Chalid, konsep ini dimaksudkan mengesahkan pemerintah yang ada, sebab kalangan separatis menuduh Indonesia pemerintah kafir dan banyak PNS ragu menerima gaji karena dianggap haram atau syubhat, sehingga tak sedikit yang berhenti sebagai PNS. Juga agar Kemenag berwenang sebagai wali hakim bagi perempuan yang menikah tanpa wali. Kalau pemerintah dianggap tidak sah, wali hakimnya juga tidak sah. Bagaimana menikahkan orang yang tak ada wali nasabnya?
Lebih Pragmatis
            Tampak Partai Masyumi dan Partai NU pernah pecah dan bercerai, karena ada nuansa perbedaan ideologis. Namun tetap ada irisan yang mengandung persamaan, keduanya masih bisa berkoalisi, terlebih ketika menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Bedanya NU melawan dari dalam pemerintahan dan Masyumi yang sudah dibubarkan Bung Karno memusuhinya dari luar.
            Di awal Ordebaru Partai NU juga terbelah, NU Politik dan NU Ormas Keagamaan. Rezim Orba yang tak ingin melihat Partai NU besar mendukung NU Ormas. NU Politik ditekan berfusi menjadi PPP bersama Parmusi, PSII dan Perti. Jaelani Naro dari Parmusi melakukan de-NU-nisasi dengan menggusur jabatan Presiden Partai yang diduduki Ideham Chalid dan Majelis Syura yang diduduki ulama NU. Akibatnya banyak massa NU yang kecewa dan PPP di masa-masa awal rentan konflik karena ada subideologi dan kelompok interes yang berbeda.
            Apa yang terjadi di tubuh PPP kemaren tidak dipicu persoalan ideologis, tetapi lebih pada pragmatisme politik untuk berkoalisi. Ada yang cenderung ke Prabowo (Gerindra), Jokowi (PDIP), ARB (Golkar), atau membangun poros sendiri sesama parpol Islam. Selebihnya akar kisruh karena miskomunikasi, gaya kepemimpinan, prosedur dan multitafsir terhadap AD/ART serta dalam mengevaluasi hasil Pileg. Perbedaan begini ringan saja dan tidak terlalu mendasar. Masalahnya dapat diselesaikan dengan duduk bersama dan islah, dan ini sudah dilakukan dengan baik.
            Ke depan, perlu sekali dipastikan Pileg dan Pilpres serempak, dengan meniadakan aturan Presidential Threshold 20-25 % suara. Dengan begitu semua partai yang punya kursi dan ikut pemilu boleh mengajukan capresnya dari awal, tanpa harus berkoalisi. Selain efisien, ini menggairahkan pemilu karena ada banyak pilihan capres, dan sesungguhnya bangsa ini banyak punya tokoh alternatif, tidak sekadar 3-4 capres yang ada sekarang. Koalisi satu sisi menyatukan antarpartai, namun terasa semu dan pragmatis karena morifnya kekuasaan. Bahkan koalisi rentan meretakkan internal partai seperti sempat terjadi di PPP dan mungkin juga akan dialami PKB dan partai lain.
            Apa pun pemicunya, konflik internal partai hendaknya dihindari. Rakyat merindukan persatuan, bukan perpecahan.
           

       

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Agustus 2014

Stereotip Konflik Partai Politik

Stereotip Konflik Partai Politik

Oleh: Ahmad Barjie B

            Beberapa waktu lalu publik menyaksikan konflik internal di tubuh PPP, partai berasas Islam dan mengklaim sebagai Rumah Besar Umat Islam.  Di saat persatuan dan koalisi sesama parpol Islam semakin dibutuhkan, PPP mempertontonkan sebaliknya.
            Konflik tersebut, walau sudah diselesaikan melalui formula islah, tetap disesalkan. Dikhawatirkan hal itu berakibat goyahnya pundasi rumah besar dan menimbulkan apatisme masyarakat terhadap partai Islam.
            Konflik PPP, satu sisi mengejutkan karena terlalu prematur. Di saat rekapitulasi suara belum selesai, bahkan masih ada pemilu ulang, PPP sudah ramai dengan kisruh sesama elitnya. Tetapi jika kita tengok sejarah, konflik begini bukan baru, bahkan cenderung menjadi tradisi dan stereotip kelompok dan parpol Islam.
Mengulang Sejarah
            Pascamerdeka, Presiden Soekarno dan Wapres Bung Hatta mengeluarkan Maklumat X, isinya mendorong lahirnya partai-partai politik sebagai saluran legal ideologi, paham politik dan corak budaya bangsa Indonesia yang majemuk.  Kran politik tersebut membuka peluang bagi lahirnya partai berbasis ideologi. Maka lahirlah PNI mewakili kalangan nasionalis, Masyumi mewakili umat Islam, Parkindo mewakili umat Kristen dan Katolik, PKI mewakili penganut komunisme,  dsb.
            Awalnya NU belum menjadi partai politik dan hanya menyandarkan aspirasinya melalui Masyumi. Ulama NU umumnya duduk di lembaga Syuriah (Penasihat), sedangkan pelaksana harian (Tanfidziyah) diduduki kalangan non NU. Belakangan NU terpaksa berpisah dengan Masyumi dan memilih berdiri sendiri sebagai partai politik, karena banyak aspirasi sulit disalurkan. Kala berpisah dengan Masyumi itu, NU sempat dituding sebagai pemecah belah umat Islam.
            Kedua parpol Islam dan berbasis massa umat Islam ini, beberapa hal berbeda terkait kebijakan dalam maupun luar negeri. Dalam negeri, Masyumi menghendaki Indonesia menjadi Negara Islam dengan hukum-hukum Islam berlaku secara eksplisit, sementara NU lebih realistik dan merasa cukup dengan Negara Religius-Nasionalis di mana ajaran Islam berlaku implisit. Pendirian NU ini didukung kalangan nasionalis.
            Kebijakan luar negeri, Masyumi memilih ikut Mutual Security Act (MSA), pertahanan dan keamanan Indonesia berada dalam jaminan dan pengawasan AS dan Inggris. Keuntungannya Indonesia akan beroleh bantuan Barat, bantuan mana sangat dibutuhkan karena Indonesia sedang ingin membangun ekonomi pascamerdeka. Sebaliknya, kalangan PKI ingin Indonesia berkiblat kepada Uni Soviet dan RRC, dua negara yang juga bersedia membantu, namun disertai penetrasi ideologi.
            NU menolak kedua pihak. Ikut yang pertama konsekuensinya Indonesia akan menjadi Blok Barat, berada di bawah pengaruh negara besar dan kehilangan kedaulatannya sebagai negara merdeka.  Kalau ikut yang kedua, Indonesia akan menjadi Negara Komunis, ini juga berbahaya dan rentan resistensi terutama dengan umat Islam.
            Ulama NU dikecam dengan sindiran tradisional-konservatif. ”Ulama yang kerjanya hanya membaca kitab kuning dan mengurus pengajian mana tahu masalah politik dalam dan luar negeri dan pembangunan ekonomi”. Tetapi ulama dan partai NU tetap yakin dengan pendiriannya. Bagi NU Indonesia harus menjadi negara yang mandiri, ”la gharbiyyah wa la syarqiyyah” (bukan barat bukan timur).
            Ternyata pendirian NU didukung pemerintah dan partai nasionalis. Melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 1955 dipimpin PM Ali Sastroamijoyo dari PNI, yang oleh rival PNI + NU disebut Konferensi Apa-Apaan, yang sukses dan dilanjutkan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 dipimpin Waperdam II Ideham Chalid dari NU, Indonesia meneguhkan dirinya sebagai Negara Non Blok. Peran sebagai penggagas, pendiri dan anggota Negara-negara Non Blok yang dominan menjadikan Indonesia di masa Bung Karno dan Pak Harto disegani dan dihormati dalam pergaulan internasional.
            Partai NU juga dikecam ketika mendukung pemerintah. NU bersama Menteri Agama KH Masykur, ulama Muhammadiyah dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) melakukan pertemuan Cipanas 1954. Isinya, organisasi besar ini mengakui pemerintah Presiden Soekarno dan lembaga-lembaga tinggi negara sebagai penguasa yang sah dan memiliki kekuasaan waliyyul amr ad-daruri bis-syaukah.
            Konsep ini dimaksudkan mengesahkan pemerintah yang ada, sebab kalangan separatis menuduh Indonesia pemerintah kafir dan banyak PNS ragu menerima gaji karena dianggap haram atau syubhat, sehingga tak sedikit yang berhenti sebagai PNS. Juga untuk menguatkan kedudukan pemerintah (khususnya Kementerian Agama) sebagai wali hakim. Pengakuan ini mengakibatkan NU, ulama dan organisasi Islam yang sepaham menjadi bahan ejekan kalangan ulama/cendikiawan modernis. Mereka menuduh NU cs opportunis, tidak berpendirian, cenderung ikut dan mendukung pemerintah saja.
            Menurut Ideham Chalid, tudingan itu karena banyak kalangan tidak paham, tidak tahu latar belakang mengapa kebijakan tersebut diambil. Tujuannya agar pemerintah memiliki kewenangan mengatasi separatisme yang sangat berbahaya dan mengancam integritas NKRI, juga agar Kemenag hingga KUA berwenang sebagai wali hakim bagi perempuan yang menikah tanpa wali. Kalau pemerintah dianggap tidak sah, wali hakimnya juga tidak sah. Bagaimana menikahkan orang yang tak ada wali nasabnya?
            Tetapi sikap Partai NU juga tidak bulat. KH Wahab Hasbullah, KH Masykur dan KH Ideham Chalid berseberangan dengan beberapa tokoh NU lain seperti KH Ahmad Syaichu, KH Yusuf Hasyim dan Subhan Zaenuri Echsan. Elit NU juga terbelah menyikapi kebijakan Bung Karno seperti konsep Nasakom yang kontroversial.
            Di awal Ordebaru Partai NU terbelah lagi, NU Politik dan NU Ormas Keagamaan. Rezim Orba yang tak ingin melihat Partai NU besar mendukung NU Ormas. NU Politik ditekan berfusi menjadi PPP bersama Parmusi, PSII dan Perti (1973). Jaelani Naro yang memimpin PPP 1984-1989 melakukan de-NU-nisasi, dengan menggeser sejumlah tokoh NU dalam jajaran elit PPP. Jabatan Presiden PPP yang kala itu diduduki Ideham Chalid serta Majelis Syura yang umumnya diduduki ulama NU dihilangkan.
            Akibatnya PPP di masa-masa awal rentan konflik karena ada subideologi dan kelompok interes yang berbeda. Banyak warga NU yang kecewa dan terkena apatisme politik, sampai akhirnya NU memutuskan kembali ke-Khittah 1926 dan tidak lagi menjadi bagian dari PPP. Bagi yang masih bersemagat dengan politik banyak yang hijrah ke Golkar bahkan PDI.
Lebih Pragmatis
            Sedikit contoh di atas menunjukkan konflik memang kerap terjadi di tubuh parpol Islam, eksternal maupun internal. Partai Masyumi dengan Partai NU pernah bercerai. Ada nuansa perbedaan ideologis, namun tetap ada irisan yang mengandung persamaan. Karena itu mereka masih bisa berkoalisi, terlebih ketika menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Bedanya NU melawan dari dalam pemerintahan dan Masyumi yang sudah dibubarkan Bung Karno memusuhinya dari luar.
            Apa yang terjadi di tubuh PPP akhir-akhir tadi, tidak dipicu oleh persoalan ideologis, tetapi lebih pada pragmatisme politik untuk berkoalisi dengan capres dan parpol lain. Ada yang cenderung ke Prabowo (Gerindra), Jokowi (PDIP), ARB (Golkar) dan membangun poros sendiri sesama parpol Islam. Selebihnya akar kisruh karena miskomunikasi, gaya kepemimpinan, prosedur dan multitafsir terhadap AD/ART dan dalam mengevaluasi hasil Pileg.
            Perbedaan begini sebenarnya ringan saja dan tidak terlalu mendasar. Kita harapkan parapihak segera menyelesaikan masalahnya dengan duduk bersama. Islah sudah dilakukan dan tampaknya hasilnya cukup melegakan. Kita yakin PPP kembali solid. Dengan parpol berbeda saja ingin berkoalisi, apalagi sesama elit parpol sendiri. 
            Tetapi untuk jangka panjang, tak mustahil konflik bisa saja kembali terjadi, pada PPP atau parpol lain. Solusi dan antisipasi ke arah itu perlu dipikirkan dan ditindaklanjuti. Aturan presidential threshold yang mensyaratkan partai atau koalisasi partai harus beroleh suara di atas 20 % untuk bisa mengajukan capresnya sendiri, sebaiknya ditiadakan. Artinya, semua partai yang lulus parliamentary threshold atau ikut pemilu, silakan mengajukan capresnya sendiri sebelum pemilu legislatif. Dengan begitu partai jauh dari potensi perpecahan. Sebagaimana PPP, baru membangun komunikasi awal dengan Gerindra saja, elit yang lain sudah bereaksi, karena mungkin ada yang ingin berkoalisi dengan parpol lain. 
            Anstisipasi lainnya, memelihara persatuan dan menjauhi perpecahan. Suatu hari Rasulullah salat sangat panjang. Ruku’ dan sujud beliau terasa lama, sehingga banyak sahabat mengira beliau salat sambil menerima wahyu.
            Setelah sahabat bertanya ternyata ketika itu Rasulullah berdoa yang sangat penting, untuk tiga hal. Pertama, agar umatnya diselamatkan dari bencana alam dan kelaparan yang memusnahkan. Kedua, agar umatnya diselamatkan dari kekuasaan asing. Dan ketiga agar umat Islam dihindarkan dari perpecahan.
            Ternyata dua doa yang pertama dikabulkan oleh Allah swt sebab keduanya wilayah takdir, dan Allah tidak akan menakdirkan umat Islam hancur semuanya oleh bencana alam dan serangan musuh. Kalau pun ada yang mengalaminya itu hanya terbatas dan sementara, karena kerusakan alam, dosa maksiat dan adudomba. Sedangkan doa ketiga ditolak, karena perpecahan disebabkan kehendak elit dan umat Islam sendiri, yang dipicu hawa nafsu, ambisi, kecurigaan dan emosi yang tidak stabil.
            Kita semua perlu waspada. Apa pun alasannya perpecahan harus dihindari. Perbedaan harus diselesaikan dengan musyawarah, kepala dingin dan akal sehat demi kepentingan umat.  Rakyat merindukan persatuan, bukan perpecahan.

Warga Nahdiliyin, tinggal di Banjarmasin
Telp. (0511) 3251177.

Baca selengkapnya ...Selamat Datang di Blog Saya...: Agustus 2014